Home > Agama

Mengapa Dianjurkan Iktikaf pada Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan?

Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan sangat dianjurkan
Keterangan: Ilustrasi jamaah melaksanakan iktikaf
Keterangan: Ilustrasi jamaah melaksanakan iktikaf

Sumber:Republika

NYANTRI--Kita akan memasuki sepuluh hari terakhir bulan puasa. Pada hari tersebut seseorang disunnahkan untuk berdiam di masjid, melakukan sholat sunnah atau ibadah yang lainnya. Karena pada sepuluh hari terakhir diyakini sebagai salah satu malam lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Hal ini lebih utama.

Urgensi iktikaf, menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya ‘al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu’ adalah menjernihkan hati dengan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan cara memutuskan diri beribadah pada waktu-waktu yang kosong, baik itu sebentar ataupun lama, baik dilakukan bersama ataupun sendirian.

Iktikaf juga berguna untuk mengosongkan diri kita dari urusan dunia sehingga kita selamat dari jerat-jerat dan tipu dayanya berupa penghambaan pada selain Allah dengan bersandar dan berserah diri kepada Allah. Seseorang diperintahkan untuk mulazamah (berdzikir secara terus menerus atau dengan beribadah lainnya) di masjid agar rahmat Allah tercurah kepadanya, membentengi diri dengan benteng Allah subhana wa ta’ala.

Iktikaf merupakan bagian dari amal yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah subhana wa ta’ala jika dilakukan dengan ikhlas. Apalagi jika seseorang berpuasa, maka menambahkan seorang mukmin dekat kepada Allah dengan sesuatu yang Allah limpahkan kepadanya, yaitu berupa kebersihan hati dan kejernihan jiwa.

Dala pembahasan ini, Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa Iktikaf lebih afdhal dilakukan pada sepuluh akhir pada bulan Ramadlan karena ia akan bertemu dengan malam laylatul qadar. Dengan beriktikaf menjadikan seorang mukmin lebih siap menerima keutamaan Laylatul Qadar karena hati seorang mukmin menjadi bersih dan jiwanya juga jernih. Wallahu a’lam.

Sumber: Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Demaskus, Dar al-Fikr, 1997), Juz 3, 1751-1752.

Penulis: Ahmad Fatoni

× Image