Home > Agama

Ini Hal-Hal Makruh Dilakukan Ketika Itikaf Menurut Pandangan Empat Madzhab

Iktikaf pada 10 hari terakhir ramadhan sangat dianjurkan. Namun ada beberapa hal makruh perlu dihindari menurut
Keterangan: Seseorang sedang membaca Al-Quran di masjid
Keterangan: Seseorang sedang membaca Al-Quran di masjid

Sumber: Republika

NYANTRI--Sesaat lagi memasuki sepuluh hari terakhir pada bulan ramdlan. Di mana disunnahkan di dalamnya untuk beritikaf karena terdapat malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa:

يندب الإعتكاف في رمضان، لإنه من افضل الشهور، لا سيما في العشر الأخير من رمضان بالإتفاق؛ لأ فيها ليلة القدر التي هي خير من الف شهر؛ لما بينت و هو ما روي عن عائشة: أن النبي صلم كان إذا دخل العشر الأواخر أحيا الليل، و أيقظ أهله، و شد المئزر

Artinya: Disunnahkan melakukan itikaf di bulan Ramadlan karena termasuk dari paling utamanya bulan, khususnya pada sepuluh terakhir dari bulan ramadlan menurut ijma’ ulama. Karena di dalamnya terdapat malam lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Seperti halnya penjelasan sebuah hadith yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah: bahwa Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk sepuluh hari terakhir (bulan ramadlan), ia menghidupkan malam-malamnya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan penutup badan (pakaiannya).

Dari penjelasan di atas bisa difahami bahwa Rasulullah sallallaahu’alahi wa sallam sangat memperhatikan waktu tersebut. Sehingga umat islam yang hendak melakukan kesunahan tersebut pada bulan ramadlan tidak boleh melakukannya dengan sia-sia belaka, dengan hal-hal yang makruh.

Dalam hal ini, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan dengan panjang lebar mengenai suatu hal makruh dari pandangan keempat madzhab. Pada dasarnya, meninggalkan hal yang dianjurkan dalam itikaf, seperti tidak berbicara yang tidak manfaat atau memperbanyak bicara, itu menjadikannya jatuh pada kemakruhan. Berikut menurut pandangan Imam Madzhab.

Menurut Imam Hanafi: Makruh hukumnya seperti melakukan transaksi jual beli di dalam masjid, karena masjid adalah tempat kita beribadah. Segala proses akad dalam bentuk perdagangan itu dimakruhkan karena memutuskan hubungan dengan Allah, maka jangan sampai menyibukkan diri dengan urusan dunia. Dan juga, makruh hukumnya hanya berdiam ketika beriktikaf, karena hal itu dilarang sebab seperti puasanya ahlul Kitab.

Sedang Imam Syafi’i dalam hal ini juga menjelaskan terkait kemakruhan iktikaf yaitu melakukan transaksi jual-beli atau pekerjaan yang sifatnya memproduksi sebuah barang, melakukan pembekaman, mengeluarkan darah yang membuat masjid menjadi kotor. Jika aman dari tercemarnya masjid, maka hal itu hanya makruh, jika tidak maka menjadi haram.

Imam malik dalam hal ini lebih rinci lagi, di antaranya adalah:

1. meringkas waktu iktikaf, yang asalnya wajib sepuluh atau menambahnya sampai satu bulan lamanya,

2. makan di teras atau area masjid, karena pada dasarnya masjid merupakan tempat ibadah. Orang yang beriktikaf seharusnya hanya makan sekedarnya saja,

3. makruh bagi seseorang untuk keluar dari masjid, jika hendak membeli makan maka membeli di tempat terdekat saja, apabila tidak, maka iktikafnya dianggap batal,

4. menyibukkan diri dengan ilmu baik belajar ataupun menulis, walau hanya satu lembar saja karena pada dasarnya seseorang yang beriktikaf hendak melatih jiwa serta menjernihkan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka seharusnya dilakukan dengan berdzikir dan solat,

5. menyibukkan diri dengan selain dzikir dan solat, seperti mengunjungi orang sakit dan yang lainnya, kecuali menjadi Imam solat, karena hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan

6. mengucapkan salam kepada orang lain yang jauh, boleh apabila posisi dekat dengannya.

Menurut Imam hambal, bahwa makruh membaca al-Qur’an, kegiatan belajar-mengajar ilmu serta berada dalam majlis-majlis fuqaha’, sibuk dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, perdebatan, berinteraksi dengan orang-orang atau memperbanyak pembicaraan dan sebagainya serta berdiam diri tanpa melakukan apapun seperti halnya dzikir dan solat. Wallahu a’lam.

Sumber: Syekh Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, (Demaskus, Dar al-Fikr, 1997), 1774-1776.

Penulis: Ahmad Fatoni

× Image