Home > Fiqih

Hukum Larangan Melaksanakan Akad Nikah di Bulan Muharram

ada beberapa panduan-panduan yang dipegang oleh masyarakat tentang kapan melaksanakan akad nikah
keterangan: penghulu membimbing akad nikah
keterangan: penghulu membimbing akad nikah

sumber: republika

NYANTRI--Muharram telah datang dan berjalan separuh dari keseluruhannya. Masyarakat Indonesia mempunyai budaya yang berkembang di setiap Muharram. Salah satunya adalah menyucikan benda pusaka, mencari kesaktian di bulan ini. Bulan ini dianggap sebagai bulan yang sakral.

Ada beberapa kepercayaan atau budaya yang berkembang dan itu perlu diklarifikasi dalam hukum Islam. Misalnya tidak diperkenankan menikah saat bulan Muharram karena dipercaya mendatangkan malapetaka. Catatan budaya ini sampai sekarang masih berlaku. Seakan menjadi momok, sebagian masyarakat tidak berani melaksanakan akad nikah pada bulan Muharram.

Menurut catatan Serat Chentini, kita bisa menelisik lebih dalam tentang primbon yang sering dipakai dan dipercaya oleh masyarakat. Menurut kitab tersebut, menikah di bulan Muharram maka setelah berumah tangga akan membuat pasangan memiliki banyak utang. Karenanya tak jarang orang menjauhi hajatan pernikahan di bulan tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa bulan Muharram terkenal dengan bulannya priyayi. Dulu, hanya bangsa keraton yang dapat melangsungkan hajatan di bulan Muharram. Bahkan yang paling tidak masuk akal, penguasa laut Selatan, Nyi Roro Kidul, konon sedang melaksanakan pernikahan. Keyakinan tersebut secara turun-temurun membuat masyarakat enggan melaksanakan pernikahan.

Masyarakat Jawa biasanya melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Dzulhijjah (besar). Bulan tersebut dipercaya sebagai bulan keselamatan. Maka pada bulan ini, banyak digelar pernikahan. Selain itu, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban merupakan bulan yang baik juga untuk menikah. Selain bulan di atas, misal Muharram dan yang lainnya, menurut catatan Serat Chentini mempunyai sisi buruk.

Kebiasaan orang Jawa sejak dulu, orang tua dari anak yang akan menikah pergi terlebih dahulu kepada orang yang dianggap ahli dalam ilmu primbon atau pada umumnya kepada kiai yang paham ilmu tersebut. Tujuannya mencari waktu baik untuk menikahkan anaknya, agar perjalanan hidupnya menjadi lancar. Tak heran kebiasaan dan kepercayaan hari buruk dan baik itu masih dipelihara.

Perlu diketahui bahwa kepercayaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh orang Jawa, Sejarah bangsa Arab jahiliyah mempunyai cerita yang sama perihal penentuan waktu pernikahan, yaitu tidak boleh menikah di bulan Syawal, karena dipercaya sebagai bulan yang sial. Kemudian Islam membantah itu melalui pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah pada bulan Syawal. Hal tersebut seperti dalam sebuah hadits Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Nisabury, Shahih Muslim, juz 1, bab Istihbab al-tazawwaj al-tazwij fi syawal wa istihbab al-dukhul fihi. Kitab Nikah. Bairut: DKI, 1991, halaman: 1039).

Rasulullah menikahi Siti Aisyah pada bulan Syawal dan berumah tangga pada bulan itu. Dan sudah jelas bahwa perempuan yang memiliki kedekatan hati dengan Rasulullah adalah Siti Aisyah, seperti yang tercantum dalam hadits di atas. Hal ini menunjukkan jika menikah di bulan Syawal tidak terjadi suatu kesialan apapun. Rumah tangga pasangan ini berjalan bahagia dan romantis. Rasululah mencontohkan pada dirinya sendiri untuk membantah kepercayaan jahiliyah tersebut.

Namun kita tidak terlepas dengan urf (kebiasaan) yang berkembang di masyarakat. Beberapa kepercayaan mengenai primbon adalah warisan dan hasil titen dari para leluhur. Tidak serta merta ada. Mereka membaca fenomena alam dan sosial secara berulang. Setiap tempat mempunyai kepercayaan berbeda. Di Aceh, mereka percaya jika bulan Syawal adalah bulan sial. Sementara di sebagian wilayah di Pamekasan justru menikahkan putra-putrinya di bulan Syawal, ittiba’ terhadap pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah.

Menikah merupakan sunah Rasulullah SAW. Apabila sudah sampai pada waktunya, maka menikahlah, sebab disunahkan bagi orang-orang yang sudah membutuhkan. Dasar diperintahkannya menikah itu terdapat dalam Al-Qur’an, hadits dan pendapat ulama.

و أنكحوا ألايامي منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم

Artinya: Dan menikahlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.

Yang diatur dalam agama adalah layaknya seorang untuk menikah, Prinsipnya, terletak pada kemampuan menikah. Seorang yang sudah dikatakan mampu, maka disunahkan untuk menikah. Seperti hadits Rasulullah:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فإنه اغض للبصر و أحصن للفرج، و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء

Artinya: Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu terhadap biaya, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan lebih menjaga kelamin. Maka apabila tidak mampu, berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng. (Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin bin Muhammad al-Husaini asy-Syafi'i, Kifayah al-Akhyar, Surabaya: Dar al-Jawahir, t. th, juz 2, halaman: 30).

Waktu, tanggal, hari, bulan apa pernikahan yang baik, tidak diatur secara detail dalam agama. Namun, seandainya hendak ittiba’ kepada para Nabi dengan niat mencari berkah itu tidak apa-apa, karena mendapatkan kesunahan. Atau mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dengan tidak melaksanakan pernikahan di bulan tertentu, maka hal itu boleh saja dilakukan sesuai kebiasaan. Yang terpenting tidak sampai mempunyai kepercayaan bahwa, sebab bulan Muharram pernikahan mengundang malapetaka. Karena hal itu hanya ilmu titen, pengalaman yang berulang-ulang serta tidak pasti kebenarannya, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat Jawa. Ilmu titen bisa jadi bergeser sesuai dengan perkembangan keadaan atau zaman.

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan, bahwa seseorang hendaknya tidak mempercayai apakah menikah di hari ini dan di malam ini baik atau buruk. Kepercayaan tersebut dilarang dan mendapat teguran keras agama. Perbuatan tersebut tidak ada kandungan pelajaran (‘ibrah) apapun di dalamnya. Ibnu al-Firkah selaku pakar ushul fiqih menyebutkan:

و ذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول و يعتقد انه لا يأثر إلا الله، و لكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا ، و المأثر هو الله عز و جل، فهذا عندي لا بأس به، و حيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم و غيرها من المخلوقات

Artinya: Jika terdapat seorang ahli nujum berkata serta meyakini semuanya itu adalah pengaruh dari Allah, Allah-lah yang membuat kebiasaan terhadap anggapan sesungguhnya hal itu akan terjadi demikian ketika demikian. Maka hal itu tidak masalah. Lalu, dari mana kritikan itu datang, muncul atas seseorang yang percaya terhadap pengaruh bintang dan pengaruh makhluk. Mereka percaya jika ilmu bintang itu dapat mempengaruhi nasib baik dan buruk pernikahan. (Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut: Dar al-Fikr, 1994 halaman: 337).

Perhitungan waktu dan kondisi itu penting dalam hajatan besar seperti pernikahan. Apalagi bersangkutan dengan akad nikah, awal di mana mereka (kedua mempelai) akan mengarungi bahtera kehidupan. Tentu, yang memiliki hajat ingin prosesi pernikahan dan kehidupannya lancar dan bahagia, serta sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, masyarakat tidak sepenuhnya salah dengan keyakinan primbon, asal titik tekannya adalah tidak ada yang dapat mempengaruhi kecuali Allah.

Wallahu a’lam

Penulis: Ahmad Fatoni

× Image