Home > Agama

Apa yang Dimaksud Malu dalam Agama Islam?

Malu melaksanakan maksiat karena merasa diawasi Allah harus ditanamkan dalam diri seorang Muslim
ilustrasi seseorang berdoa kepada Allah
ilustrasi seseorang berdoa kepada Allah

sumber: Republika

NYANTRI--Malu adalah merasa tidak nyaman jika perkataan atau perbuatan kita akan menimbulkan cela dan aib, walaupun hukumnya mubah atau tak dipersoalkan. Malu berhubungan erat dengan sifat iffah, mengutamakan orang lain, sabar, lapang hati, pemaaf dan pergaulan yang baik.

Sebenarnya malu yang dimaksudkan agama adalah malu selalu diawasi Allah jika melakukan sebuah keburukan atau hal yang tidak pantas dilihat. Walaupun pada dasarnya hal yang tidak pantas dan keburukan itu tidak enak dilihat oleh manusia juga. Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah bersabda:

قال عليه الصلاة و السلام : استحيوا من الله حق الحياء . قالوا: انا نستحي من الله يا رسول الله و الحمد لله، قال : ليس ذلك، و لكن الإستحياء من الله حق الحياء أن تحفظ الرأس و ا وعى، و البطن و ما حوى، و تذكر الموت و البلى، و من اراد الآخرة ترك زينة الحياة الدنيا، و أثر الآخرة على الأولى.

Artinya: “Malulah kalian di hadapan Allah dengan sungguh-sungguh.” Para sahabat berkata, “Alhamdulillah sesungguhnya kami malu terhadap Allah dan Rasul-Nya.” Berliau berkata, “bukan demikian, sesungguhnya orang yang benar-benar malu terhadap Allah adalah orang yang memelihara akal pikirannya dan memelihara perut dan isinya, selalu mengingat mati dan hancur badannya. Barang siapa menginginkan akhirat sebaiknya ia meninggalkan perhiasan kehidupan dan mengutamakan akhirat daripada pahala dunia.”

Rasulullah adalah sosok yang pemali selain dalam hal berdakwah. Beliau selalu menundukkan pandangan, bertutur kata dengan sopan santun serta sifat-sifat baik lainya. Salah satu contoh adalah beliau meski sudah dijamin masuk urge, akan tetapi beliau adalah orang yang paling rajin solat, paling khusyuk dalam solat. Hal ini adalah karena sifat malu yang tertanam dalam diri Rasulullah. Pertama, malu terhadap Allah dan kedua adalah malu karena sebagai Nabi harus mencontohkankepada Umatnya. Hal inilah yang dikatakan malu pada hal-hal yang mubah. Berbeda dengan ketika berdakwah, beliau tegas dan menentang kemungkaran. Jika mendesak, beliau pun ikut berjihad.

Akan tetapi pada dasarnya Nabi tetap bertatakrama dengan lembut. Menegur seseorang dengan santun, terkadang menggunakan sindiran agar tidak tersinggung. Pernah ada suatu riwayat dari Aisyah:

ذكرت السيدة عائشة أن إمرأة سألت النبي من غسلها من الحيض، فعرفها كيف تغتسل. ثم قال لها: خذي فرصة من مسك فتطهري بها، قالت : كيف أتطهر بها؟ قال سبحان الله تطهري، فاجتذبتها ألي، فقلت لها : تتبعي بها أثر الدم.

Artinya: Ada seseorang perempuan bertanya kepada Nabi tentang mandi karena haid. Lalu beliau menerangkan tatacara mandi, lalu beliau berkata, “Ambillah kain yang sedikit diberi minyak wangi dan pakailah untuk bersuci.” Perempuan itu bertanya, “Bagaimana bersuci dengan kain itu.” Beliau menjawab, “Subhanallah, bersucilah.” Perempuan itu aku tarik dan aku jelaskan bahwa kain itu untuk menghapus bekas darah.

Malu sebagai alat kita untuk tidak berkata-kata atau berbuat sekehendak hati kita. Mereka selalu mawas diri agar tidak tergelincir pada perbuatan yang buruk. Maka, sifat malu selalu mengarah kepada keyakinan jika dirinya diawasi oleh Allah. Malu bisa jadi sebagai pelengkap dari sebuah Iman. Apabila tidak ada malu dalam diri seseorang maka dia seperti tidak punya Iman. Kita akan melakukan sekehendak hati, termasuk menuruti hawa nafsu. Dalam sebuah hadith di jelaskan bahwa Rasulullah bersabda:

إن الحياء و الإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما تبعه الآخر.

Artinya: sesungguhnya malu dan iman berada dalam satu wadah, bila yang satu dicabut maka yang lainnya akan ikut dicabut.

Sebagaimana Rasulullah, beliau tidak malu apabila dalam keadaan berdakwah, menyampaikan kebaikan. Maka malu tidak berlaku pada kita yang sedang bekerja, mengajar dan perbuatan baik yang lainnya. Karena hal itu diperintahkan oleh agama. Kesimpulannya adalah malu berlaku pada hal yang buruk dan tidak pantas dilihat walaupun secara agama sah-sah saja. Wallahu a’lam.

Disarikan dari Ahmad Muhammad al-Hufi, Min Akhlak an-Nabi, (Kairo: t.p., 1994), 277

.Penulis: Ahmad Fatoni

× Image