Home > Sejarah

Sumbangsih KH. Baidlowi Lasem atas Keabsahan Soekarno sebagai Pemimpin Indonesia

Kiai Baidlowi memberi gelar Soekarno sebagai huwa waliyyul amri adh-dharuri bi al-syaukah
keterangan: presiden pertama Indonesia Soekarno
keterangan: presiden pertama Indonesia Soekarno

sumber: republika

NYANTRI--Indonesia pada tahun 1955 melaksanakan pemilu yang pertama. Pemilu ini dilaksanakan sebanyak dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokraris karena diikuti 29 partai dan perseorangan. Dewan Konstituante bertujuan untuk membentuk UUD yang baru mengganti UUDS 1950. Namun, di balik persiapan pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia itu mengalami gejolak dan kemelut politik dari beberapa golongan.

Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta periode ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang bertahan selama dua tahun.

Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang digagas Ir. Soekarno sebagai konsep politik persatuan Indonesia tidak sepenuhnya tercapai. Sengitnya pertarungan antarpartai dan meruncingnya friksi politik di Pemilu 1955 berdampak pada munculnya gangguan keamanan. Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.

Keadaan ini diperparah dengan persoalan gejolak daerah warisan revolusi yang tak kunjung usai. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang menafikan keberadaan Republik Indonesia masih menjadi ancaman serius penyelenggaraan pemilu di berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Sumatra dan Sulawesi. (Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Pemilu 1955: Panitia Pemilihan Diculik hingga Dibunuh", https://tirto.id/dmUz).

Berbeda dengan DI/TII, Nahdlatul Ulama mengambil sikap yang lain. NU selalu mendukung pemerintah. Hal ini antara lain bisa dilihat dari Muktamar ke-20 NU di Surabaya 8-13 September 1954. Perlu diingat dan diketengahkan kembali, bahwa musyawarah ini terjadi saat gejolak politik sedang memanas di Indonesia yang baru berusia 10 tahun. Saat itu, musyawarah berjalan alot dan belum kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan, sehingga pada akhirnya KH Baidlowi ibn Abdul Aziz al-Lasem (mursyid Tarekat an-Nahdliyyah pertama) memberikan pendapatnya. KH. Baidlowi Lasem berpendapat dan sekaligus memberi gelar kepada Presiden Soekarno sebagai huwa waliyyul amri adh-dharuri bi al-syaukah, atau pemegang pemerintahan yang sah, dalam keadaan darurat. Pendapat itu diamini musyawirin. Oleh KH Wahab Hasbullah, pendapat ini digunakan untuk melegitimasi keabsahan Bung Karno dalam kacamata syariat untuk memimpin bangsa Indonesia. (Amirul Ulum, KH. Zubair Dahlan: Kontribusi Kiai Sarang untuk Nusantara & Dunia Islam, Yogyakarta: CV. Global Press, 2018, hal. 230-236).

“Dengan gelar Soekarno Huwa Waliyyul Amri adh-Dharuri bisy-Syaukah, maka sikap Mbah Baidlowi adalah menentang atau tidak setuju dengan adanya DI/TII, walaupun mereka menegakkan syari’at Islam di NKRI.” (KH. Muhammad Najih MZ, Pengasuh PP. Al-Anwar, Sarang). (Amirul Ulum, KH Baidlowi Lasem: Pencetus Gelar Soekarno Huwa Waliyyul Amri adh-Dharuri bisy-Syaukah, Yogyakarta: CV Global Press, 2022).

Penulis: Arif A'abadia

× Image