Ferdy Sambo, Citra Buruk Polri dan Momentum Pembenahan
Sumber: Republika
NYANTRI--Pembentukan kepolisian nasional pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu langkah keberlanjutan keamanan yang diwariskan dari kepolisian kolonial. Pewarisan ini kemudian mengalami pembenahan dalam bidang manajerial dan struktural dari yang sebelumnya, namun sifat dan figur kekerasan pada awal kepolisian kolonial masih terus melekat. Sebagaimana polisi saat ini yang berslogan tak jauh beda dengan polisi kolonial, yang juga bertugas menciptakan rust en orde dalam masyarakat, malah selalu berprilaku sebaliknya. Sebagai contoh di masa kolonial, mantan pejabat negara kolonial, P.J.A Idenburg menyebut sosok polisi yang “bertangan besi” seperti S.L Oostmeijer (Adjunct-hoofdcommissarissen) yang bertugas di Surabaya pada tahun 1920-1922, merupakan segelintir perwira polisi kolonial yang sering menggunakan kekerasan dalam menghadapi masyarakat khususnya kaum pribumi (Regeerings-Almanak voor Nederlandsch Indië, 1923: 289).
Kesangsian masyarakat akan wajah kepolisian nasional sebagai penegak hukum di Indonesia, keamanan dan ketertiban masyarakat bukan tanpa alasan. Sejarah panjang citra buruk kepolisian nasional adalah faktor utamanya. Polri yang mewarisi sifat dan figur kekerasan kolonial, semakin terlihat miteristik dan represif ketika penggabungan Polri dan TNI menjadi ABRI pada 1962. Di tahun-tahun tersebut juga terjadi banyak kasus kekerasan yang dilakukan anggota Polri. Sebuah kasus yang sangat menggemparkan adalah kasus Sum Kuning yang terjadi pada Desember 1970. Dengan kemuakkan masyarakat sipil atas sifat militeristik dan represif, akhirnya ABRI dibubarkan pada 1999.
Deretan kasus berikutnya adalah sejarah pilu tak berkesudahan. Penambahan sejarah yang sedap-sedap-memilukan baru-baru ini adalah tragedi pembunuhan oleh Ferdy Sambo atas Brigadir J. Motif di balik pembunuhan tersebut sudah terungkap dalam penyidikan, namun Kapolri menolak mengungkap secara terang benderang saat diminta Komisi III DPR RI, karena membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Walaupun begitu, telah beredar sentilan terkait motif oleh pengacara Brigadir J. dan Bharada E dalam banyak pemberitaan media massa. Mulai dari “wanita cantik”, judi dan narkoba, sampai pada pembongkaran “Kekaisaran Sambo dan Konsorsium 303”.
Kasus pembunuhan atas Brigadir J kemudian merentet pada sejumlah kasus besar dalam tubuh Polri. Hal ini tentu merubah citra Polri yang awalnya sudah buruk menjadi bobrok. Ini adalah pertaruhan besar sekaligus momentum bagi Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, M.Si. dalam menuntaskan kerak masalah yang selama ini merusak citra Polri. Semboyan Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) yang dipakainya sebagai jargon kepolisian yang selama ini hanya sloganistik harus diikuti perbaikan riil. Perbaikan urgen secara sadar dan mendasar pada tubuh internal Polri.
Acuan kode etik Polri yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006, sudah sangat jelas memperinci bagaimana seharusnya Polri dan sanksi etiknya. Tidak luput, di dalamnya, di Bagian Lima juga membahas Etika Dalam Hubungan Dengan Masyarakat pada pasal 10. Namun, memang terkadang teori atau ketentuan seringkali mengalami kesenjangan dengan praktik.
Satu contoh kegagalan praktik ini terjadi pada kasus pengaktifan kembali Brotoseno di Polri setelah terjerat pidana korupsi dan menjalani masa tahanan 5 tahun. Setelah menemuai kritik oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan desakan masyarakat, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo merevisi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 hingga membuat Kapolri berwenang untuk meninjau kembali sidang etik yang disidangkan kepada Brotoseno sebelumnya. Melalui tinjauan kembali sidang etik, Brotoseno akhirnya dihentikan dari kepolisian dengan tidak hormat.
Melihat segala penyimpangan di atas, tentu pengawalan dan perbaikan Polri juga membutuhkan kekuatan dan perhatian kita bersama. Dengan begitu, Kasus pembenuhan atas Brigadir J. adalah momentum tepat pembenahan sebelum “tikus menguasai lumbung”.
Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Sumber: Regeerings-Almanak voor Nederlandsch Indië 1923, (Batavia: Landsdrukkerij, 1923)
Penulis: Arif A'abadiah