Home > Sejarah

Tiga Ukhwah Sumbangan KH Achmad Siddiq

KH. Achmad Siddiq salah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang dihormati dan disegani di Indonesia
Keterangan: KH Achmad Siddiq
Keterangan: KH Achmad Siddiq

Sumber: republika

NYANTRI--Karakter tawassuth (moderat), tawazun (paralel, keseimbangan), i’tidal (tegak, adil) dan tasamuh (toleran) dalam Ahlussunnah wal Jamaah menjadi sikap yang selalu dibawa Nahdlatul Ulama dalam bermasyarakat. Segala bentuk perpecahan dalam tubuh Islam di Indonesia atau kenegaraan sejatinya menunjukkan kurangnya pemahaman akan sikap dari karakter di atas. Perbedaan para pemimpin sangat bisa dimengerti, namun perpecahan yang timbul darinya adalah bentuk ketiadaan kesadaran akan satunya misi, yakni persatuan umat.

Ragam jalan yang ditempuh menuju suatu tujuan haruslah disadari sebagai keniscayaan. Sebagaimana ikhtilaful a’immah rohmatul ummah (perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi ummat). Sikap para pemimpin atau pemuka agama dalam melihat perbedaan kepentingan, ideologi, dan hukum haruslah berdasarkan kebijaksanaan agar umat mendapatkan ketentraman dan tidak kehilangan arah.

Belajar dari rentangan sejarah akan ragam segala bentuk konflik, NU selalu hadir di tengah umat. NU sebagai organisasi masyarakat muslim terbesar di Indonesia memanggul tanggung jawab umat yang kompleks. Umat yang penulis maksud adalah umat muslim, namun tidak menutup mata bahwa NU juga menjaga kerukunan dengan masyarakat nonmuslim. Konflik dalam internal Islam atau antar umat atau antar suku bangsa atau lainnya bukan hal yang terjadi sekali dua kali di Indonesia. Indonesia dalam sejarahnya menyimpan rentetan panjang dan kelam akan hal tersebut.

Melihat realitas di atas, terdapat jembatan persaudaraan yang membentang dan menyambungkan lintas entitas. Jembatan tersebut adalah ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa-setanah air), ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga gagasan cemerlang ini adalah sumbangsih besar KH Achmad Siddiq (Rais Aam 1984-1991) yang tercantum dalam makalahnya yang berjudul Ukhuwwah Islamiyyah dan Kesatuan Nasional: Bagaimana Memahami dan Menerapkannya. Makalah ini diperkenalkan beliau dalam pidatonya pada acara Munas NU di Pondok Pesantren Ihya’ Ulumuddin Kesugihan Cilacap Jawa Tengah pada 1987.

KH Abdul Muchit Muzadi menyebut bahwa banyak kritik bernada sinis ketika gagasan tersebut dilayangkan Kiai Achmad Siddiq.

“Ketika pertama kali al-Maghfurlah KH Achmad Shiddiq mencanangkan hal ini, banyak kritik bernada sinis. Bahkan dengan gagasan beliau ini seakan-akan mereka menganggap bahwa beliau terlalu mengada-ngada, melakukan penambahan yang tidak perlu, bahkan ada juga yang menuduh beliau berlebih-lebihan “mendekati” kaum nonmuslim. Kalangan ini cenderung menyatakan bahwa gagasan tersebut “mengurangi” kadar-kadar ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan sesama muslim.” (Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran; Refleksi 65 Tahun Ikut NU, [Surabaya, Khalista: 2006], cetakan ke-3, halaman, 171).

Meski demikian, setidaknya KH Achmad Shiddiq telah berhasil membuat para kiai NU untuk menyepakati pernyataan tentang fanatisme agama. Bahkan dalam makalahnya itu ia berhasil meletakkan dasar saling pengertian antara umat Islam dan umat agama lain. (Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, [Yogyakarta, LKiS: 2013,], cetakan ke-3, halaman 340-347).

Gagasan Trilogi Ukhuwah KH. Achmad Siddiq tentu tidak berangkat dari kehampaan, melainkan dengan tujuan menata hubungan manusia dalam perspektif Islam. Ulama yang produktif tersebut telah melihat dengan kesadaran penuh bahwa ada gejolak yang timbul dengan berbagai bentuk. Sumbangsih besar KH. Achmad Siddiq mendapatkan relevansinya dewasa ini. Relevansi ini semakin menegaskan ketidakberesan hubungan antar individu atau antar kelompok atau antar umat. Wallahu a’lam.

Arif A'abadia

× Image