Home > Sejarah

Kiai Ahmad Rifa'i Kalisalak Gunakan Syi'ir sebagai Alat Perlawanan

Kiai Ahmad Rifa'i adalah ulama yang berilmu luas. Gigih dalam berdakwah
Ilustrasi
Ilustrasi

Sumber: laduni.id

NYANTRI--Bentuk perlawanan menghadapi penjajah selalu ditempuh dengan berbagai cara oleh para ulama Nusantara. Selain mengangkat senjata seperti di Perang Padri (1821-1835) di Sumatera dan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa, ulama Nusantara juga mengangkat pena (dakwah karya tulis) sebagai salah satu bentuk perlawanannya. Salah satu ulama Nusantara yang menggunakan metode tersebut ialah Kiai Ahmad Rifa’i. Beliau ulama yang gigih melakukan perlawanan melalui dakwah dan protes sosial sampai akhir hayatnya. Ia merupakan seorang ulama yang lahir di sebuah desa di Kendal, tepatnya di Desa Tempuran. Lebih jelasnya H Ahmad Syadzirin Amin dalam bukunya Gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i mengambil pendapat Drs Slamet Siswadi menyebutkan, bahwa Ahmad Rifa’i lahir pada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H, bertepatan tahun 1786 Masehi.

Dalam kitab Risalah Syamsul Hilal Juz Ats-Tsani pada Bab Perimbangan Awal Tahun Hijriyah dan Miladiyah menyebutkan bahwa tanggal 1 Muharram 1200 H bertepatan dengan 4 November 1785. Artinya, 9 Muharram 1200 H setidaknya bertepatan pada 12 November 1785.

Kiai Ahmad Rifa'i dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Siti Rahmah, buah cintanya dengan Raden KH Muhammad Marhum. Jika melihat tahun kelahirannya, ia seangkatan dengan Pangeran Diponegoro (lahir 1785).

Ahmad Rifa’i diasuh oleh kedua orang tuanya sejak lahir hingga ayahnya wafat saat ia berusia enam tahun. Menurut kalangan Rifa’iyah, ia kemudian diasuh dan dididik oleh pamannya yang bernama KH Asy’ari, seorang ulama terkemuka di daerah Kaliwungu. Diasuh oleh KH Asy’ari menjadikan Ahmad Rifa’i tumbuh dewasa kental dengan ilmu agama Islam. Sejak kecil ia sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Tak heran jika kelak ia menjadi ulama besar.

Syair Perlawanan

Perjuangan dakwah Kiai Ahmad Rifa’i dilakukan sejak beliau muda. Pada usia 30-an tahun, tepatnya tahun 1833 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah dan menetap di sana selama delapan tahun untuk menimba ilmu. Ia bertemu dengan para ulama besar di sana. Saat itu jaringan ulama dunia berpusat di Makkah.

Pertemuan tersebut membuatnya semakin bersemangat menimba ilmu. Salah satu gurunya adalah Isa al-Barawi. Iai juga pernah berguru kepada Ibrahim al-Bajuri, seorang ulama dari Mesir meskipun kepergian Kiai Ahmad Rifa’i ke Mesir masih diragukan. Namun, karena pada masa itu banyak ulama yang beraktivitas di Makkah dan Madinah, bisa jadi Kiai Rifa’i bertemu Syaikh Ibrahim al-Bajuri di sana.

Pada saat Kiai Ahmad Rifa’i menimba ilmu di tanah haram, beliau bertemu dengan beberapa ulama Nusantara, seperti Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Kholil Bangkalan. Ketiga ulama tersebut menjadi sahabat karib dan sempat melakukan diskusi terkait dakwahnya kelak. Dari hasil diskusi tersebut ketiganya bersepakat, Syaikh Kholil Bangkalan akan fokus pada masalah tasawuf dalam dakwahnya, Syaikh Nawawi Banten pada masalah usuluddin, sementara Kyai Ahmad Rifa’i pada masalah fiqih.

Sesampai di tanah air Kiai Ahmad Rifa’i memulai dakwahnya di sebuah desa terpencil yakni Kalisalak, sekarang masuk di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Pada masa itu Nusantara sedang terpuruk karena penjajahan dan kebodohan. Ia sangat prihatin melihat kondisi masyarakat. Karena saat kehidupan sosial rakyat sangat tertindas oleh penjajah, para birokrat pribumi banyak yang bersekutu dengan penjajah.

Melihat kondisi tersebut ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak yang digunakan sebagai tempat berdakwah dan mengajar agama Islam. Ia menilai bahwa budaya Islam di masyarakat harus diubah agar terhindar dari budaya yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Selain mengajar di pondok, ia juga sering berdakwah ke tempat lain seperti Wonosobo, Pekalongan, Kendal. Dari dakwahnya tersebut menjadikan pondok pesantrennya diketahui banyak orang. Hal itu membuat banyak orang berbondong-bondong ke pondok pesantren Kalisalak untuk menyantri pada Kiai Ahmad Rifa’i.

Materi dakwahnya tidak selalu tentang hukum Islam, tapi juga protes sosial karena ia melihat pemerintah kolonial yang selalu menindas masyarakat. Protes sosial ia masukkan dalam ajaran dan kitab yang ditulisnya. Ia meyakini pemerintah kolonial adalah kafir dan harus diperangi. Keyakinan tersebut diajarkan kepada santri-santrinya agar tidak tunduk terhadap penjajah dan birokrat pribumi yang bersekutu dengannya. Tidak hanya itu, Kiai Ahmad Rifa’i juga mengajarkan kepada santrinya bahwa melawan pemerintah kolonial merupakan Perang Sabil.

Kiai Rifa’i termasuk ulama yang sangat produktif dalam bidang penulisan. Kebanyakan karyanya adalah syi’ir atau nazam. Salah satu syi’ir ini menggambarkan pendapatnya pada pribumi yang mau bekerjasama dengan penjajah.

“Ghalib alim lan haji pasik pada tulung,

marang raja kafir asih pada junjung.

Ikulah wong alim munafik imane suwung,

Dumeh diangkat drajat dadi tumenggung.

Lamun wong alim weruho ing alane wong takabur,

mengko ora tinemu dadi kadi miluhur.”

Artinya:

Ghalib alim dan haji fasik menolong,

raja kafir dan senang mendukungnya.

Itulah orang alim yang munafik yang kosong imannya,

Merasa diangkat derajatnya jadi tumenggung.

Jika orang alim menunjukkan jeleknya orang takabur,

nanti tidaklah mungkin dapat kadi terkenal.

Pada syair di atas bisa kita lihat bagaimana kerasnya terhadap penjajah dan orang-orang pribumi yang bekerjasama dengan mereka.

Perlawanan dalam mengusir penjajah dari para pahlawan sangat beragam dengan situasi dan kondisi pada masa itu. Kiai Ahmad Rifai lebih memilih menggunakan metode dakwah secara lisan dan tulisan yang dirangkum dalam kitab-kitabnya. Metode tersebut memiliki keunikan tersendiri karena membentuk kesadaran masyarakat bahwa mereka sedang tertindas. Ia juga menanamkan pada masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai fondasi dan jalan hidup yang benar.

Dengan kitab Tarjumah yang ia buat menjadikan santri-santri lebih mudah memahami ajarannya karena ditulis dengan Arab pegon yang umumnya berbahasa Jawa. Karena melihat kondisi masyarakat pada saat itu yang belum familiar dengan bahasa Arab. Selain mengajarkan agama Islam, dalam kitabnya, Kiai Ahmad Rifai memasukkan pesan-pesan untuk melawan penjajah dengan sekuat tenaga dan kemampuan masing-masing.

Slameta dunya akhirat wajib kinira

nglawen raja kafir sakuasnu kafikira

Tur perang sabil luwih kadene ukara

Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara.

Artinya:

Keselamatan dunia akhirat wajib diperhitungkan

Melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan

Demikian juga perang sabil lebih daripada ucapan

Cukup tidak menggunakan pasukan yang besar.

Pada syair di atas kita menghayati keteguhan Kiai Ahmad Rifa’i dalam dakwahnya melalui pena melawan penjajah dan sekaligus kebodohan.

Sumber:

NU Online

Oleh Ibn Abad

× Image