Home > Sejarah

Mengenal Bulan Pernikahan Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah

Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah pada bulan Safar
Ilustrasi
Ilustrasi

Sumber: republika

NYANTRI--Bulan Safar ternyata mempunyai banyak cerita bersejarah, salah satunya adalah pernikahan Nabi Muhammad dengan cinta sejatinya, yaitu Khadijah binti Khawailid. Beliau sangat mencintai Siti Khadijah sehingga beliau monogami selama bersamanya. Selain itu Siti Khadijah adalah orang pertama membersamai Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Ia yang menenangkan Rasulullah ketika mendapatkan sensasi ketakutan menerima wahyu. Ia yang memberikan kepercayaan kepada Nabi tatkala bertemu dengan Jibril pertama kalinya, jika yang dia dapatkan benar-benar wahyu, bukan dari setan. Peristiwa semacam itu tentu membuat Nabi tidak berani untuk mempunyai istri lebih dari satu, walaupun pada dasarnya melakukan poligami bukanlah suatu aib di kalangan pemimpin Arab.

Benih cinta itu tumbuh tatkala Siti Khadijah menjadikan Nabi Muhammad sebagai orang yang membantu dalam perniagaan. Tidak sembarangan untuk memilih mitra dagang Siti Khadijah, Khadijah pada awalnya mendengar jika terdapat sosok yang amanah dan jujur ucapannya, yaitu Nabi Muhammad, sampai beliau dijuluki “al-Amin”. Dengan tanpa pikir Khadijah mengajak dan mengutus Nabi Muhammad untuk berdagang ke Syam dengan ditemani seorang pembantunya yang bernama Maisaroh. Kala itu adalah kali kedua beliau melakukan perjalanan ke Syam untuk berdagang yang mana umurnya masih 25 tahun.

Sesampai di Syam, Nabi Muhammad mulai berdagang. Beliau mendapatkan untung yang banyak sehingga maisaroh kagum terhadap beliau. Hal itu tampak sekali keberkahan yang dimiliki Rasulullah. Beliau mempunyai daya tarik yang membuat seseorang menyukainya, termasuk hati Khadijah ketika mendengar sifat dan hasil niaganya dari Maisaroh ketika pulang.

Siti Khadijah adalah orang yang terkenal di Suku Quraish karena hartanya yang melimpah, akan tetapi karena sifat mulia Rasulullah, ia pun menjadi tertarik untuk menikah dengan beliau. Ia mengutus sahabatnya, Nafisah binti Umayyah yang juga masih kerabat dari Nabi Muhammad untuk melamar menawarkan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad pun menyetujuinya setelah mengabarkan kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Thalib.

Setelah berdiskusi kemudian Nabi melalui perantara Abu Thalib dan Hamzah pergi ke rumah paman Siti Khadijah, Khawailid bin Asad untuk melamar. Kemudian paman Khadijah itu menikahkannya bersama Rasulullah.

Pada saat itu Abu Thalib memberikan sambutan yang berisi: Segala puji bagi Allah yang menjadikan kita termasuk dari dzurriyah Ibrahim dan anak Isma’il, keturunan ma’adl, bagian dari ras Mudhar, dan menjadikan kita sebagai pengasuh Rumah-Nya dan orang-orang yag mengurus tanah haram, menjadikan untuk kita rumah yang diziarahi serta tanah haram yang aman, dan menjadikan kita penguasa di antara manusia.

Kemudian, Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin ‘Abdillah, seorang lelaki yang tidak akan diukur sosoknya kecuali memilih Muhammad berdsarkan kemuliaan, keutamaan dan akal sehat. Jika dilihat dari hartanya, sedikit. Maka sesungguhnya harta adalah bayang-bayang suatu hal yang fana, perkara yang menjadi penghalang dan pinjaman yang akan dikembalikan. Dia (Nabi Muhammad), demi Allah, setelah ini kemuliaan agung dan kedudukan yang agung diperuntukkan untuknya.

Karena keinginannya yang tinggi, dia (Nabi Muhammad) melamar dengan berdasarkan dari kemulian Sayyidah Khadijah. Dan Da berikan mahar untuknya, maka dengan itu semua, sempurnalah semua proses perkara itu.

Khadijah sebelumnya bersuami Abi Halah yang kemudian meninggal, mereka memiliki satu anak bernama Halah, yaitu anak tiri Rasulullah (al-Musthafa) sallallahu alaihi wa sallam. (Muhammad Khadri bik, Nurul Yaqin, t.tp. Dar al-Iman, t.th. hlm. 20-21).

Akan tetapi karena ketulusan keduanya. Mereka hidup dengan penuh kebahagian. Ketika Sayyidah Khadijah wafat, Rasulullah mengalami kesedihan atasnya, karena Siti Khadijah sangat tulus mencintai Nabi, berjuang bersama Nabi.

Peristiwa pernikahan ini berlangsung pada bulan Safar karena latar belakang penamaan Safar pada bulan kedua pun adalah ketika wilayah Makkah kosong karena penduduknya bepergian untuk berdagang ke luar Makkah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Manzur dalam kitabyanya Lisan al-‘Arab. (Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Ara, Beirut: Dar el-Shadir, Juz 4, hlm. 460). Tentu, banyak orang yang tidak mengetahui hal tersebut, sehingga menjadikan bulan tersebut sebagai bulan yang mengandung bala atau bencana untuk menikah bagi sebagian orang. Wallahu a’lam.

Ahmad Fatoni

× Image