Belajar dari Abu Nawas Saat Jawab Pertanyaan Raja tentang Allah Sedang Apa?
NYANTRI--Dalam ayat al-Qur’an surah Az-Zariyat ayat 56 Allah Swt telah menyatakan bahwa, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Dari ayat ini dapat diartikan bahwa setiap kegiatan manusia apapun bentuknya harus bernilai ibadah. Agar apa yang kita kerjakan menjadi berkah bagi kehidupan kita. Tetapi hidup pada dasarnya tidak berjalan mulus-mulus saja, ada berbagai rintangan dan tantangan yang harus dihadapi. Dalam setiap tantangan yang dihadapi tak jarang dari kita mengalami kesulitan-kesulitan yang membuat kita merasa jenuh menghadapinya.
Kita sebagai manusia berharap hidup sesuai dengan apa yang kita inginkan selayaknya hidup penuh dengan kebahagian. Tetapi keinginan hidup yang penuh kebahagiaan tidak tercapai kita merasa kesal dan cenderung jatuh pada sikap mengeluh. Padahal ayat di atas telah menjelaskan bahwa apapun kegiatan manusia di dunia haruslah bernilai ibadah, termasuk dalam menghadapi kesulitan hidup dengan kesabaran. Sebagai manusia kita sering terjebak pada sikap egois yang tinggi, sehingga terkadang tidak pernah mampu memahami maksud dari setiap kesulitan yang terjadi.
Bahkan apa yang kita lihat sebagai kebahagiaan hidup sejatinya juga merupakan kegiatan yang bernilai ibadah, yakni bagaimana kita bisa bersyukur atas apa yang telah dicapai. Tetapi sebagian kita terkadang lupa untuk bersyukur. Kebahagiaan dan kesulitan sejatinya merupakan bumbu-bumbu kehidupan. Orang lain biasa menyebutnya dengan roda kehidupan. Hidup manusia memang selalu seperti roda yang berputar. Naik-turun, berjaya dan terpuruk, bahagia dan bersedih.
Hari ini mungkin ada yang hidup dengan tinggi menjulang, sukses secara karier, dan berlimpah materi. Tetapi bisa saja di waktu yang lain Allah Swt membalikkan keadaannya, hari ini bisa saja seorang manusia mendadak tidak lagi punya kuasa, terjelembab pada hidup yang kelam, dan lain sebagainya. Sebagaimana dalam percakapan antara Abu Nawas dengan Raja Harun al-Rasyid:
Suatu hari, banyak tamu yang berkumpul di istana raja Harun al-Rasyid. Ternyata tamu tersebut adalah para ulama, mereka bercengkrama dan membicarakan masalah agama hingga urusan negara. Dan di sela-sela waktu santainya, para ulama tersebut mendadak menerima pertanyaan dari sang raja. Adapun pertanyaan itu adalah “adakah diantara kalian yang tahu kira-kira Allah sedang apa sekarang?”. Mendadak para ulama tersebut, melontarkan balik pertanyaan bahwa, “apakah sang baginda tidak mempercayai keberadaan Allah?”.
Tetapi raja Harun al-Rasyid telah menegaskan bahwa dirinya sangat percaya dengan keberadaan Allah Swt. Namun sang raja tetap mempertanyakan “kira-kira Allah sedang apa sekarang?”. Para ulama pun saling memandang satu sama lain, mereka tidak tahu harus menjawab apa. Namun, ada satu ulama yang mempertanyakan pertanyaan sang raja bahwa, “tidak selayaknya sang raja mempertanyakan itu, jangan samakan dzat Allah dengan manusia”. Raja pun menjawab bahwa, “saya tidak sedang menyamakan dzat Allah dengan manusia”. Raja masih tetap penasaran, “kira-kira Allah sedang apa sekarang?”.
Sejenak suasana menjadi lengang, dan beberapa saat sang raja teringat dengan sosok Abu Nawas. Tak lama Abu Nawas kemudian dipanggil ke istana dengan menyuruh para pengawal segera menjemputnya. Saat tiba di istana, terlihat beberapa ulama sedang berkumpul. Baginda raja tampak duduk berwibawa di singgasananya. Setelah itu Abu Nawas dipanggil oleh raja, Abu Nawas kemudian menuju kehadapan sang raja setelah menyapa para ulama. Belum sempat Abu Nawas duduk sempurna, tanpa basa-basi sang raja langsung bertanya “wahai Abu Nawas, saya ingin menguji kecerdasanmu apakah kamu bisa menjawabnya atau tidak?. Para ulama disini tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya”.
Abu Nawas kemudian menjawab, “wahai baginda raja yang mulia, beliau-beliau ini para ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi, sedangkan hamba hanya orang biasa. Tidak pantas rasanya kalau saya yang menjawabnya”. Namun jika baginda raja berkenan, pertanyaan seperti apakah yang ditanyakan. Tadi saya bertanya pada ulama disini “kira-kira Allah sedang apa sekarang?”. Mendengar pertanyaan itu, sejenak Abu Nawas pun terdiam dan kemudian menjawab “saya bisa menjawab pertanyaan baginda raja, tetapi ada syaratnya. Adapun syarat yang diajukan oleh Abu Nawas adalah saya (Abu Nawas) harus duduk di singgasana baginda raja, sedangkan baginda raja harus duduk di bawah bersama para ulama. Raja Harun al-Rasyid pun menuruti permintaan Abu Nawas tersebut, setelah menduduki singgasana raja Harun al-Rasyid. Abu Nawas berkata dengan lantang, kalau baginda raja ingin tahu Allah sedang apa sekarang. Saksikanlah Allah sedang mengangkat Abu Nawas menjadi raja dan Harun al-Rasyid menjadi rakyat biasa”.
Dari kisah yang digambarkan oleh percakapan dan pertanyaan Harun al-Rasyid dengan Abu Nawas. Setidaknya ada nilai yang bisa dipetik untuk diterapkan dalam menjalani setiap fase kehidupan. Meski pertanyaan yang dilemparkan oleh Harun al-Rasyid tidak umum di telinga, tetapi justru dari pertanyaan itu kita dapat mengetahui bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini bagi Allah Swt. Seperti yang telah dijelaskan di atas, mungkin hari ini kita bahagia, tetapi di lain waktu kita bisa saja mengalami kesedihan.
Hal demikian adalah kewajaran hidup Yang Maha Kuasa berikan agar manusia terus berproses mencari hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Sebab setiap proses kehidupan jika dimaknai dengan sungguh-sungguh juga merupakan nilai ibadah, termasuk ketika sedang mengalami kesulitan kita bisa bersabar dan ketika sedang mengalami kebahagiaan kita bisa bersyukur. Sebagaimana yang tertera dalam surah At-Talaq ayat 3, “dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya”.
Hari ini kita mungkin sedang terpuruk dalam hal ekonomi, misalnya. Tetapi dengan kesabaran kita dalam menjalani kehidupan mungkin saja suatu saat dengan cepat bisa berlimpah rezekinya. Mungkin saja hari ini kita sedang bahagia, tetapi karena kurang bersyukur atau jumawa. Bisa saja suatu saat mengalami kesedihan.
Penulis: Dimas Sigit Cahyokusumo, alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM