Ketika Abu Nawas Jual Agama di Pasar: Ada yang Mau Beli Agama?
Dokumen Republika
NYANTRI--Berbicara mengenai sosok Abu Nawas memang tidak pernah habis-habisnya dibicarakan. Mengingat ada banyak pesan yang disampaikan dalam setiap ceritanya. Meski cara penyampaiannya terkesan bercanda dan penuh lelucon. Tetapi makna-makna yang disampaikannya penuh dengan hikmah. Apalagi hal itu berkaitan dengan fenomena yang ada pada perilaku kita selaku orang yang beragama. Melalui leluconnya yang penuh makna, tak jarang Abu Nawas sering menyampaikan nasehat-nasehat untuk kita dalam menjalani kehidupan.
Sebagimana dalam kisah Abu Nawas berjudul, “Abu Nawas Jualan Agama di Pasar”. Lama sudah Abu Nawas tidak bertemu baginda raja. Ia sangat merindukan kebersamaan dengan rajanya itu. Biasanya dalam satu bulan, Abu Nawas sampai empat kali dipanggil ke istana untuk menemani sang raja untuk berbincang bersama. Namun sudah hampir satu tahun, baginda raja belum juga memanggilnya ke istana. Hingga terbesik dalam benak Abu Nawas jika baginda raja sudah melupakan dirinya.
Sebenarnya Abu Nawas bisa saja langsung datang ke istana dan menemui sang baginda raja. Sebab Abu Nawas merupakan salah satu orang yang diberi keistimewaan khusus oleh sang raja. Tetapi kalau Abu Nawas bertemu raja tanpa ada kepentingan, ia khawatir para menteri kerajaan akan berprasangka buruk padanya. Untuk bertemu sang raja, Abu Nawas kemudian terpikir dan bergegas menuju ke pasar. Sesampainya di pasar, Abu Nawas mulai memasuki toko demi toko. Hampir semua toko yang dihampiri oleh Abu Nawas semuannya terdiam dan heran. Sebab Abu Nawas hendak menawarkan sesuatu yang menurut orang tidak wajar, yakni agama.
Di salah satu toko, Abu Nawas bertanya “apakah toko ini menjual agama?”, tentu saja si pemilik toko heran. Kalau disini tidak menjual agama, maka saya ingin menjual agama harganya cukup satu dinar, apakah kamu berminat? ungkap Abu Nawas. Begitulah seharian Abu Nawas menawarkan agama ke para pemilik toko. Kemudian Abu Nawas berteriak-teriak di tengah pasar sambil berucap, “agama, agama ada yang mau membeli agama?”. Sontak hal tersebut membuat kaget orang di pasar. Banyak yang menuduhnya telah ateis.
Orang-orang lantas membawanya kehadapan sang raja. Setibanya dihadapan sang raja, sang raja kemudian berkata kepada Abu Nawas, “kenapa kamu bisa diikat oleh orang-orang dan dibawa kesini?”. Abu Nawas kemudian menjawab, “mereka menangkap dan membawa saya kesini, karena saya ingin menjual agama saya di pasar”. Kemudian baginda raja berkata kepada Abu Nawas, “kalau kamu ingin menjual agamamu sendiri kenapa mereka marah?”. Abu Nawas kemudian menjawab, “jika saya menjual agama saya sendiri, mereka berpikir saya tak lagi punya agama, jika saya tak lagi punya agama mereka menyimpulkan saya tidak bisa sholat lagi, jika saya tidak bisa sholat lagi mereka menyimpulkan berarti saya tak punya Tuhan. Jika saya tidak punya Tuhan mereka berpendapat kalau begitu saya ateis”.
Begitulah cara pengadilan jalanan menghukum saya, ungkap Abu Nawas. Baginda raja kemudian berkata, “jika kamu tidak punya agama lagi karena sudah dijual, bagaimana cara kamu menyembah Tuhan?. Iya saya tinggal masuk ke masjid lalu menunaikan sholat, jawab Abu Nawas”. Sang raja kemudian bertanya kembali, “loh kok dengan cara sholat, kok di masjid, bukankah itu cara orang Islam beribadah. Berarti kamu masih punya agama Abu Nawas. Padahal kamu sendiri sudah menjual agamamu”. Abu Nawas kemudian bertanya, “lantas kalau begitu apa arti agama?”.
Baginda raja kemudian menjawab, “bahwa agama adalah seperangkat ajaran yang datang dari langit yang mengajarkan seluruh umat manusia untuk selalu berbuat baik. Menganggu orang lain sekecil apapun adalah perbuatan tidak baik, jika setiap orang beragama berbuat baik maka tatanan hidup bersama umat manusia akan baik dengan sendirinya. Karena tak seorang pun merasa terganggu dengan kehadiran orang lain akibat ajaran agama yang dijalankannya”.
Kemudian baginda raja mencontohkan rukun Islam, mulai dari syahadat, sholat, puasa, zakat, sampai ibadah haji. Semuanya ditujukan untuk kebaikan manusia, tujuan sholat adalah mencegah perbuatan keji, jika ia telah melaksanakan sholat tapi masih berbuat munkar. Maka sholatnya perlu dipertanyakan. Begitu pula dengan puasa yang mengajarkan kita berempati kepada kaum miskin. Sedangkan zakat sendiri sudah pasti disalurkan untuk memperdayakan fakir miskin. Bahkan predikat haji merupakan predikat pribadi yang penuh kebaikan sosial.
Jadi begini Abu Nawas, orang yang beragama sesungguhnya selalu melahirkan kebaikan untuk orang lain. Terlebih dalam ajaran agama Islam kita dilarang memutuskan silahturahmi dengan orang baik. Apalagi terhadap sesama Muslim. Setelah baginda raja menjelaskan pandangannya terkait agama. Abu Nawas tersenyum penuh bahagia, kalau boleh tahu apa ancamannya bila memutuskan silahturahmi?, tanya Abu Nawas.
Orang yang memutuskan silahrutahmi tidak mendapatkan rahmat dari Allah. Itulah tujuan saya kemari baginda raja, jawab Abu Nawas. Agar saya bisa terus menjalin silahturahmi dengan paduka yang mulia. Lantas apakah kamu masih ingin menjual agama?, tanya sang raja. Abu Nawas kemudian bertanya pada sang raja, “wahai raja siapa sih sebenarnya orang yang pantas menjual agama?”. Kalau menurut sang raja, orang yang pantas menjual agama adalah orang yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadinya. Dengan sigap Abu Nawas berkata, “tetap sekali paduka, seperti halnya para pejabat dan politikus”.
Meski yang dilakukan oleh Abu Nawas terlihat “konyol”, tetapi maksud dan tujuannya benar-benar penuh makna. Lebih-lebih di zaman yang seperti ini, banyak orang yang tanpa ragu apalagi menjelang pemilihan umum. Banyak yang menggunakan atau memanfaatkan agama demi kepentingan politik. Agama tidak lagi dimaknai sebagai jalan spiritual atau prinsip hidup yang mampu membuat kebaikan kepada sesama, sebagaimana yang disampaikan oleh sang raja bahwa “agama seperangkat ajaran yang datang dari langit yang mengajarkan seluruh umat manusia untuk selalu berbuat baik”. Jika agama sudah kehilangan “ruh spiritual”nya sebagai jalan hidup, maka sudah benar apa yang dilakukan oleh Abu Nawas. Agama layaknya sebuah barang murah yang dijual kesana dan kemari.
Penulis Dimas Sigit Cahyokusumo adalah alumni program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM