NU dan Tradisionalisme Radikal yang Perlu Tumbuh Subur
Oleh: Ahmad Fatoni, alumni Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang. Kini Menempuh Pendidikan S2 di UIN Sunan Ampel Surabaya
NYANTRI--Salah satu gerakan yang digembar-gemborkan sejak sebelum terpilihnya Gus Yahya Cholil Staquf menjadi Ketua Umum PBNU meminta jangan ada capres atau cawapres dari PBNU. Hal itu berlangsung ketika ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Ia pernah memanggil salah satu ketua PCNU yang terlibat dalam kampanye salah satu partai dalam menyambut kontestasi pemilihan Presiden 2024. Tidak lama, Gus Yahya kembali mengingatkan seusai Rakor Persiapan Resepsi Satu Abad Nadlatul Ulama di Surabaya jika calon presiden atau wakil presiden dilarang mengatasnamakan NU, tidak ada calon presiden atau kepala daerah yang membawa nama NU untuk membesarkan dirinya di mata masyarakat.
Gerakan tersebut mengandung tanda tanya, karena Gus Yahya mewanti-mewanti hal itu sejak dini. Apakah gerakan ini adalah upaya untuk mengembalikan Nahdlatul Ulama sebagai gerakan masyarakat yang memiliki spirit menjunjung tinggi nilai-nilai khittah, di mana NU harus kembali menjadi wadah masyarakat, bukan wadah para kader yang bertujuan meniti karir menjadi politisi. Apakah Gus Yahya sadar jika saat ini NU terlalu dekat dan lunak dengan pemerintah. Sehingga ia bertanggung jawab untuk menghapus itu semua dari benak masyarakat.
Selain itu, penulis sangat senang karena gerakan tersebut apa yang disebut oleh seorang sarjana Jepang yang bersahabat dengan Gus Dur, Mitsuo Nakamura, sebagaimana dikutip oleh Ulil Abshar Abdalla di dalam essainya “Merayakan Kembalinya Sikap Kritis NU” adalah Tradisionalisme Radikal.
Tradisionalisme radikal ialah sikap kritis pada pemerintah yang muncul sejak dekade 70-an dari kalangan tradisionalis. Sikap ini muncul karena adanya generasi baru dengan pemikiran-pemikiran yang lebih segar. Di antara tokohnya adalah Gus Dur dan Mahbub Junaidi. Keduanya merupakan tokoh NU yang mematikan pandangan orang tentang NU lama yang cenderung oportunistik. Mereka cenderung lunak terhadap penguasa dan hanya menjadi alat politik.
Hal ini mungkin Gus Yahya memandang gaya NU lama itu masih dianut oleh sebagian kader NU sekarang. Sehingga perlu penegasan kembali jika NU merupakan organisasi kemasyarakatan, bukan alat politik, bahkan bukan partai politik sebagaimana yang pernah terjadi dulu ketika lepas dari Masyumi.
Upaya Gus Yahya dalam membersihkan kepentingan politik di tubuh NU, bagi penulis, merupakan penanaman tradisionalisme radikal yang secara tidak langsung dilakukan oleh Gus Dur kepadanya. Hal ini tidak heran, sebab beliau adalah murid intelektual Gus Dur. Beliau seakan membuka ruang bagi kader NU untuk memandang pemerintah dari luar, bukan dari dalam. Sebab jika semua tokoh utama sudah menjadi bagian dari pemerintah atau terlalu dekat dengan pemerintah, maka NU tidak bisa bergerak bebas ketika terdapat pemerintah yang kurang dalam menentukan kebijakan politik.
Sebenarnya, Hal sama juga dilakukan oleh murid intelektual Gus Dur sebelumnya dan juga sebagai mantan Ketua Umum PBNU periode 2010-2021, yaitu Kiai Sa’id Aqil Siraj. Beliau pernah mengkritik kebijakan pemerintah dalam membuat undang-undang cipta kerja. Menurutnya UU ini hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis dan investor. Tapi menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, serta rakyat kecil.
Kiai Sa’id bagaimanapun telah melabrak anggapan kebanyakan orang terhadap NU yang terlalu lunak terhadap pemerintah. Padahal saat itu terdapat mantan Ra’is Amm PBNU, Kiai Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Nahdliyin terkejut dengan sikap NU terhadap pemerintah terkait UU Cipta Kerja tersebut.
Sejarah mencatat, NU tidak sekali dua kali mengkritik pemerintah. Sejak Kiai Hasyim Asy’ari memimpin NU sampai sekarang, mereka mengkritik pemerintah apabila tidak berpihak kepada NU, utamanya umat Islam. Hal itu terjadi ketika pemerintah Belanda datang kembali ke Indonesia, di mana Kiai Hasyim Asy’ari menyatakan resolusi jihad kepada umat Islam pada tanggal 22 Oktober 1945. Hal itu bentuk dari kemarahan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam kepada Belanda. Selain itu, bentuk dari protes tokoh NU juga ketika pemerintah Jepang datang ke Indonesia. Di mana kebijakan Jepang pada saat itu mewajibkan rakyat Indonesia melakukan Seikerei, sebuah penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Kemudian pada era Soekarno, NU cendrung damai dengan pemerintah karena Soekarno dekat dengan tokoh NU. Namun pada akhir orde lama anak-anak muda NU kepemimpinan Subhan ME bersikap sangat kritis kepada pemerintah di tengah kekacauan ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif seusai tragedi G30SPKI.
Ketika Indonesia dipimpin oleh Soeharto, Gus Dur sebagai generasi baru NU yang mempunyai pemikiran baru dan segar menggertak Soeharto dan menjadi pelopor dari reformasi bangsa ini. Meminjam bahasa Gus Ulil, bahwa Gus Dur—dan tokoh lain yang kerap mengkritik pemerintah pada masanya—membawa visi pembangunan alternatif sebagai kritik atas pembangunan ala Orde Baru yang “top down”. Pada era inilah hubungan NU dan pemerintah dalam situasi yang sangat buruk.
Sejak era reformasi, NU mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan pemerintah, apalagi sejak Gus Dur sendiri menahkodai bangsa Indonesia, yaitu menjadi Presiden Indonesia yang ke-4 Presiden lainnya, seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo membangun hubungan yang baik dengan NU. Apalagi sekarang Wakil Presiden Republik Indonesia berasal dari NU, maka NU mempunyai posisi yang sangat strategis di pemerintah.
Walaupun kedekatan NU dengan pemerintah terjalin sangat mesrah, bukan berarti NU tidak mengkritik apabila ada kebijakan yang tidak pas. NU juga berjuang dalam mengawal kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, ketimpangan ekonomi, pencegahan korupsi dan penghapusan ketidakadilan menjadi bagian sikap perjuangan NU. Meskipun hal itu tidak terlalu keras sebagaimana kelompok Islam lainnya yang sangat radikal, sehingga kerap ditangkap bahkan ditahan.
Seperti beberapa peristiwa kritis lain terkait kebijakan pemerintah terjadi ketika terdapat rencana pemerintah untuk mengubah waktu sekolah dari enam menjadi lima hari yang menerapkan durasi sekolah sehari penuh, sehingga mematikan sistem pendidikan diniyah yang secara umum dilaksanakan pada sore hari. Selain itu, NU pernah bersikap kritis dengan menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mana berupaya menafsirkan ulang Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
Tradisionalisme radikal di sini dalam artian positif. Bukan bermakna radikal sebagaimana anggapan orang kebanyakan, di mana jika terdapat sebuah kelompok dengan keras melawan pemerintah karena sebuah kebijakan, sikap atau tindakan yang tidak sesuai dengan kelompoknya maka disebut radikal. Seyogyanya, pemerintah butuh kelompok yang menegurnya apabila melakukan kebijakan yang salah. Hal ini kemungkinan yang hendak dibuka secara luas oleh seorang Gus Yahya sebagai pewaris pemikiran Gus Dur yang mencoba agar NU bersih dari kepentingan politik.
Kenapa harus muncul tradisionlisme radikal dari tubuh NU agar ikut merangkul pemikiran-pemikiran yang ekstrem yang tumbuh dari kader NU atau tokoh NU yang tidak ada dalam struktur. Sebab, beberapa tahun terakhir, khususnya nampak jelas menjelang pemilu presiden ataupun kepala daerah, muncul tokoh NU atau putra tokoh NU yang keras terhadap pemerintah tanpa adanya rangkulan dari pengurus NU itu sendiri. Sehingga nampak tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Mereka menggiring opini yang sukses menciptakan arus lain di luar arus besar organisasi NU.
Selain itu klaim paling benar dalam mengikuti pemikiran KH. Hasyim Asy’ari sebagian kecil warga NU membelah diri dan menciptakan NU baru di luar NU. Seperti fenomana munculnya KKNU (Komite Khittah Nahdlatul Ulama) 1926 dan NU Garis Lurus. Bagi kelompok mereka, lahirnya kedua lembaga tersebut bahwa NU seharusnya fokus pada politik tingkat tinggi, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik, bukan politik praktis. Hal ini disampaikan Ketua Umum KKNU, KH. Solachul Aam Wahib Wahab yang ditayangkan dalam sesi wawancara Youtube Refly Harun.
Apa yang dicita-citakan mereka sebenarnya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rais Amm PBNU KH. Sahal Mahfudz (almarhum) bahwa politik NU adalah politik tingkat tinggi, yaitu politik kebangsaan, bukan politik praktis untuk perebutan kekuasaan. Hal ini ia sampaikan dalam rapat pleno di Wonosobo tahun 2013. Apa yang menjadi perbedaan jika dikaitkan dengan kedua ucapan ulama tersebut (KH. Solakhul ‘Aam Wahib Wahab dan KH. Sahal Mahfudz). Apakah Gus Yahya menggiring kembali NU sebagaimana yang disampaikan oleh Kiai Sahal. Jika iya, Gus Dur baru harus tumbuh, bukan hanya persoalan toleransi (sebagaimana orang kebanyakan ketika membicarakan Gus dur), akan tetapi teladan lain juga perlu diimplementasikan, termasuk sikap radikal (dalam arti positif) terhadap pemerintah.
Maka dari itu, tradisionalisme radikal menjadi terobosan baru yang perlu tumbuh subur untuk merangkul mereka yang mempunyai pemikiran keras terhadap pemerintah. Bukan hanya non-muslim yang dirangkul, kelompok seperti KKNU dan NU Garis Lurus yang cendrung sentimen terhadap pemerintah dan ulama NU perlu diberikan garis agar mereka bisa sejalan dan tidak menyerang NU itu sendiri. Bahkan kelompok seperti Islam radikal perlu diberikan pendekatan secara continue.
Yang menjadi problem besar juga, era sekarang pemetakan antara yang toleran dan radikal adakalanya nampak inkonsisten. Seperti, radikal beberapa kali digunakan sebagai senjata bagi politikus untuk menjaga posisi dirinya di pemerintahan. Sehingga maknanya menjadi kabur. Toleransi dalam beragama, berbangsa dan bernegara mempunyai pintu yang dibuka secara lebar, seakan tanpa koridor yang baku. Begitu juga dengan kelompok yang radikal—keras terhadap pemerintah. Tokoh yang mencoba untuk keras terhadap pemerintah, mereka akan mendapat kecaman karena sikapnya yang keras. Radikal secara mudah disematkan kepada tokoh Islam apabila bersuara, bersikap apalagi mengambil tindakan secara keras. Tanpa melihat dampak positif jangka panjang apa yang dilakukan mereka.
NU mempunyai peran penting dalam mengawal pemerintah yang harus berjalan sesuai jalurnya. Sebab, anggota NU mencapai jutaan dan menjadi organisasi terbesar di Indonesia bahkan di dunia. NU seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah kerusakan sebelum kerusakan itu terjadi di tubuh pemerintah, bukan malah menjadi biang dari kerusakan itu sendiri. Maka sebelum kerusakan itu terjadi, tradisionalisme radikal itu perlu tumbuh. Hal ini sejalan dengan pribasa, sedia payung sebelum hujan dan juga sebagai spirit dari kaidah fikih bahwa mencegah kerusakan lebih baik daripada mengambil manfaat.
Maka, jika tradisionalime radikal tumbuh subur, tentu dengan seni komunikasi yang disesuaikan zaman dan keadaannya, hal ini perlu diapresiasi karena ada Gus Dur baru yang muncul di tengah NU, yang sampai saat ini NU masih dianggap sangat dekat dan lunak dengan pemerintah—tanpa menganggap dekat kepada pemerintah itu salah. Harapannya dengan adanya kebijakan Gus Yahya agar kader tidak membawa embel NU ke dalam politik manjadikan organisasi tersebut bergerak dengan leluasa dan murni sebagai wadah masyarakat dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Paling tidak anggapan KKNU dan NU Garis Lurus yang beranggapan NU saat ini menggunakan politik praktis tidak berkelanjutan, apalagi sampai muncul NU-NU baru di luar NU. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam
Baca Artikel Menarik Lainnya: https://nyantri.republika.co.id/posts/199261/prof-azra-salafisme-wahabi-tak-akan-bisa-menanamkan-akarnya-di-indonesia