Home > Sejarah

Mengenal Guru Besar Perempuan Pertama di Indonesia

Siti Baroroh salah satu tokoh yang lahir dari Muhammadiyah
Siti Baroroh Baried (suara Aisyiyah)
Siti Baroroh Baried (suara Aisyiyah)

NYANTRI--Berbicara tentang kiprah perempuan dalam sejarah perjalanan Indonesia tak dapat dipisahkan dengan kantong-kantong organisasi perempuan. Sebab dari situ lahir kartini-kartini penting yang berpengaruh besar terhadap kehidupan organisasi, secara khusus ataupun secara luas kepada masyarakat umum.

Muhammadiyah melalui organisasi otonomnya Aisyiyah salah satu kantong kekuatan perempuan di Indonesia. Banyak tokoh yang lahir dari organisasi yang didirikan pada 19 Mei 1917 oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Prof Siti Baroroh Baried adalah perempuan kelahiran Yogyakarta pada 23 Mei 1923. Ia adalah sosok penting yang tercatat dalam sejarah perjalanan organisasi Aisyiyah maupun prestasinya di bidang akademik.

Dikutip dari situs resmi Aisyiyah, Siti Baroroh sangat menonjol di bidang akademik. Semangatnya untuk belajar tak sangat tinggi waktu itu. Ia bahkan mempunyai semboyan tentang semangat mencari ilmu yaitu “Hidup saya harus menuntut ilmu”.

Semboyan tersebut ia ucapkan di hadapan kedua orang tuanya. Ayah dia adalah Tamimi bin Dja’far yang merupakan kemenakan Siti Walidah, istri KH Ahmad Dahlan. Sehingga tak heran apabila ia mencapai prestasi akademiknya hingga puncak yaitu perempuan pertama di Indonesia yang menjadi guru besar. Bahkan pencapaian tersebut ia dapatkan ketika baru berusia 39 tahun.

Riwayat pendidikannya ia mulai di SD Muhammadiyah. Lalu ia melanjutkan berturut-turur di MULO HIK Muhammadiyah dan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Keduanya merupakan tingkat sarjana.

Pada tahun 1953 sampai 1955, ia pergi ke Kairo, Mesir untuk belajar bahasa Arab. Pada masa itu, pergi ke luar negeri untuk menempuh pendidikan merupakan sesuatu yang langka. Baru pada 1964 ia diangkat sebagai guru besar ilmu Bahasa Indonesia UGM.

Karena saat pengangkatan guru besarnya masih usia muda, maka ia pun mendapatkan sorotan banyak pihak waktu itu. Ia mengajar di fakultas sastra sejak 1949 dan pernah menjadi dekan fakultas sastra UGM selama dua periode yaitu tahun 1965-1968 dan 1968-1971. Ia bahkan menjabat sebagai Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM tahun 1963-1975.

Ia mempunyai banyak karya yang dapat dinikmati baik dibidang filologi, kebudayaan, pranata, sejarah dan bahasa. Diantara karyanya adalah Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Pengantar Teori Filologi (1985), dan Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985).

Abd. Rahim Ghazali dalam artikelnya dalam Geotimes mengatakan bahwa jika Kartini dimaknai sebagai perjuangan secara kolektif bukan individua, maka Aisyiyah termasuk salah satu Kartini tersebut. Di dalam Aisyiyah tersebut, nama Siti Baroroh adalah srikandi-srikandi dalam Kartini perjuangan kolektif tersebut.

Selain Siti Baroroh, terdapat srikandi lainnya yang tak kalah peranannya dalam organisasi maupun perjuangan perempuan. Sebut saja Nyai Walidah Dahlan sebagai tokoh utama, Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Busyro, Siti Dawingah, Siti Badilah Zuber, dan Siti Dalalah.

Selain dikenal perjuangannya di bidang pendidikan, namun Siti Baroroh juga aktif diberbagai organisasi. Di Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), ia juga terlibat aktif.

Di Aisyiyah sendiri ia pernah menjabat sebagai Pimpinan Cabang Aisyiyah Gondomanan sampai Pimpinan Pusat Aisyiyah. Ia merupakan perempuan yang menjabat sebagai ketua PP Aisyiyah paling lama selama lima periode dari tahun 1965 hingga 1985. Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Biro Hubungan Luar Negeri, Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan serta Ketua Bagia Paramedis.

Berkat kepemimpinannya, Aisyiyah menjadi organisasi perempuan yang diperhitungkan di luar negeri. Sehingga banyak akademisi maupun penulis yang mempelajari organisasi ini.

Ia menikah dengan seorang dokter spesialis bedan yaitu dr. Baried Ishom. Ia menikah dengannya sebelum gelar guru besarnya diperolehnya. Suami dari Siti Baroroh kemudian menjabat sebagai Direktur RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Dari pernikahanya tersebut dikaruniai dua orang anak satu putra dan satu putri. Ia meninggal pada hari Ahad 9 Mei 199. Ketika ia mangkat, Siti Baroroh menjabat sebagai pimpinan umum Majalah Suara Aisyiyah dan penasehat PP Aisyiyah.

× Image