Home > Agama

Ini Penjelasan Rasulullah tentang Seseorang yang Tidak Ingin Menikah

Salah satu cara hidup Rasulullah adalah menikah
Pemain timnas Indonesia Egy Maulana Vikry melangsungkan pernikahan. Dok republika
Pemain timnas Indonesia Egy Maulana Vikry melangsungkan pernikahan. Dok republika

JAKARTA,NYANTRINEWS.ID,--Ada sebagian orang yang penuh pertimbangan untuk menikah mulai karena faktor kemampuan finansial, kesiapan mental dan memang ada yang memang enggan menikah sebab dianggap tidak terlalu penting. Bagaimana Rasulullah menilai tentang seseorang yang memilih tidak menikah?

Ahli tafsir al-Quran, Prof Quraish Shihab dalam buku "Menjawab ?...1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui" mengatakan menikah merupakan cara hidup Nabi Muhammad. Kendati demikian sunnah tersebut bukan dalam artian hukum. Seseorang yang tidak menikah dipandang sebagai orang yang keluar dari Islam.

Dalam suatu riwayat disebutkan, ada tiga orang sahabat yaitu Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash dan Utsman bin Maz'un. Ketiganya berkunjung ke rumah nabi untuk melihat ibadahnya. Sebab mereka merasa ibadahnya masih kurang.

Karena itu masing-masing bertekad memperbaikinya. Ada yang bertekad shalat malam terus menerus. Adapula yang ingin berpuasa sepanjang masa dan ada yang tidak ingin menikah. Maksud mereka diketahui Nabi.

Lalu Nabi mengatakan bahwa ketakwaan bukan melakukan hal yang bertentangan dengan fitrah manusia atau melampaui batasnya. Nabi bersabda, "Demi Allah, aku adalah yang paling takut, di antara kamu, kepada Allah, dan aku paling bertakwa kepada-Nya. Tapi aku tetap berpuasa (pada suatu hari) dan tidak berpuasa (di hari yang lain). Aku shalat dan tidur, dan aku juga kawin. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku maka dia bukan dari (umat)-ku." (HR. Bukhari dan Muslim melalui sahabat Nabi Anas bin Malik).

Dan hadis tersebut yang dimaksud oleh Prof Quraish bukan dalam pengertian hukum. Sehingga yang menjalankan sunnahnya akan mendapatkan ganjaran dan yang tidak menjalankan tidak dosa.

Menurut Prof Quraish, perkawinan sendiri hukumnya mubah (boleh dilaksanakan atau tidak). Meskipun terkadang menjadi wajib apabila mampu secara fisikal dan material serta dikhawatirkan terjerumus ke dalam dosa. Dan bisa jadi perkawinan terlarang apabila belum mampu secara fisikal dan material. Bagi yang belum mampu secara material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan perintah Allah dalam firmannya Surah An-Nur ayat 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Walyasta‘fifil-lażīna lā yajidūna nikāḥan ḥattā yugniyahumullāhu min faḍlih(ī), wal-lażīna yabtagūnal-kitāba mimmā malakat aimānukum fa kātibūhum in ‘alimtum fīhim khairaw wa ātūhum mim mālillāhil-lażī ātākum, wa lā tukrihū fatayātikum ‘alal-bigā'i in aradna taḥaṣṣunal litabtagū ‘araḍal-ḥayātid-dun-yā, wa may yukrihhunna fa innallāha mim ba‘di ikrāhihinna gafūrur raḥīm(un).

Artinya: "Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa."

× Image