Home > Agama

Kiai dan Kentalnya Tradisi Tabarruk di Pesantren

Tabarruk sangat kental di dunia pesantren. Santri menganggap sosok kai sebagai murabbi sebagai tempat mencari petunjuk jalan kebenaran.
Sumber Foto: Republika
Sumber Foto: Republika

NYANTRI--Dilihat dari struktur-fungsional seorang kiai di pesantren, ia merupakan murabbi bagi santri yang mencari petunjuk jalan kebenaran. Dalam al-Qur’an ihdinash shiratal mustaqim (tunjukkanlah pada jalan yang benar). Kiai salah satu sosok yang mampu membimbing santri pada jalan yang benar sebab ia adalah pewaris Nabi Muhammad sallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seorang kiai secara struktural berada di tatanan sosial paling tinggi, yaitu dalam lembaga pesantren dan masyarakat Islam tulen, lebih-lebih nahdliyyin. Sosok kiai sangat dihormati. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allin terdapat dawuh Sayyidina Ali karramallahu wajhah:

قال على رضى الله عنه: أنا عبد من علمنى حرفا واحدا، إن شاء باع، وإن شاء استرق

“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf, terserah padanya, saya mau dijual, dimeredekakan atau tetap menjadi hambanya.”

(Syekh Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, Bairut, Maktabah al-Islami, 1981, hlm 78)

Maka dari itu, Santri akan sam’an wa ta’atan (patuh dan taat) kepada seorang kiai dalam hal apapun. Karena mereka meyakini bahwa apa yang dikehendaki oleh kiai atas dasar jalan yang benar. Hal ini tidak heran, mereka memandang pribadi seorang kiai berbeda dengan orang pada umumnya. Kiai adalah sosok yang selalu menyibukkan diri taqarrub ilallah, membaca kitab yang isinya adalah tentang syari’at, thariqat, ma’rifat dan hakikat. Dari pandangan itulah mereka percaya sepenuhnya apa yang diperintah oleh kiai.

Dalam al-Qur’an surat al-Fatir ayat 28 menjelaskan bahwa:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.

Ayat di atas menunjukkan jika kiai sebagai ulama yang takut melanggar apa yang dilarang Allah dapat membimbing kepada jalan yang benar. Banyak dari kiai sering melakukan tirakat hanya untuk seorang santri. Terkadang ada model kiai yang tidak memikirkan dirinya sendiri dan keluarga. Umat adalah prioritasnya. Maka dari itu, patut seorang santri mengikuti arahan dan masukan dari seorang kiai.

Kiai juga menjadi sarana mendapatkan keberkahan, salah satu cara mendapat berkah adalah dengan ber-khidmah. Seperti kata masyhur dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

ثبات العلم بالمذاكرة، وبركته بالخدمة، ونفعه برضا الشيخ.

“Melekatnya ilmu dapat diperoleh dengan cara banyak muthala’ah, barakahnya dapat diperoleh dengan berkhidmah, sedangkan manfaatnya dapat diperoleh dengan adanya restu dari guru.”

Khidmah adalah salah satu cara mendapatkan keberkahan yang paling logis. Sebab dengan berkhidmah, kita belajar melakukan kebaikan kepada orang lain tanpa pamrih. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali, berkah adalah ziyadatul khair (bertambahnya kebaikan). Yang dinamakan kebaikan adalah melakukan suatu hal yang menguntungkan kepada orang lain dengan semata-mata mendapat ridha Allah, bukan mendapat pamrih atau bonus. Bonus akan ada dengan sendirinya, karena hal itu sunnatullah.

Di antara macam cara yang lainnya dapat diperoleh dengan sesuatu diluar nalar manusia, akan tetapi nyata adanya. Semisal ngalap barokah dengan berziarah kepada makam Rasul dan orang-orang soleh. Selain itu, ada istilah “air barokah” dalam masyarakat pesantren. Air barokah menjadi budaya Indonesia yang berlangsung lama, dipercaya menjadi musabab tertentu. di antaranya adalah air botol yang dibacakan kalimat tayyibah oleh seorang kiai, air yang diambil dari sekitar makam orang soleh dan air bekas minum orang soleh. Semuanya dapat disebut sebagai air barokah.

Walaupun sedikit fenomena santri meminum air dari bekas wudhu kiai, namun masih ada santri yang mempraktekkan hal tersebut. Salah satu contoh dilakukan oleh santri di Pondok Pesantren Syaikhona Yahya Karanganyar Bangkalan. Pondok ini menggunakan sistem pengajaran pesantren klasik. Santri sepenuhnya belajar kitab kuning. Bagi yang tidak terbiasa, meminum air bekas wudhu’ dianggap laku sosial yang aneh dan tidak higienis. Namun bagi santri, laku sosial seperti itu bisa memberikan dampak positif bagi mereka, bahkan dikehidupannya nanti.

Hal semacam ini, sebenarnya sudah dicontohkan oleh seorang sahabat pada masa Nabi, yang mana banyak hikayat menyebutkan sahabat sering ngalap berkah kepada Nabi baik dengan khidmah atau hal yang di luar nalar. Dengan cerita-cerita inilah santri meyakini keberkahan orang-orang soleh.

Dulu pernah ada seorang sahabat yang bertabaruk dengan rambut Nabi Muhammad. Dalam sebuah riwayat yang masyhur:

عن جعفر بن عبد الله بن الحكم: أن خالد بن الوليد رضي الله عنه فقد قلنسوة له يوم اليرموك، فقال: اطلبوها، فلم يجدوها، فقال أطلبوها، فوجدوها، فإذا هي قلنسوة خليقة، أي ليست بجديدة—فقال خالد: اعتمر رسول الله صلى الله عليه و سلم فحلق رأسه، فإبتدر الناس جوانب شعره ، فسبقتهم الى ناصيته، فجعلتها في هذه القلنسوة، فلم أشهد، قتالا و هي معي، إلا رزقت النصر.

“Dari Jakfar bin Abdillah bin al-Hakam: bahwa sesungguhnya Khalid bin Walid radiyallaahu ‘anhu kehilangan peci (penutup kepala pada zaman dulu) miliknya pada hari Yarmuk. Ia berkata: “carilah peci tersebut”, namun tidak ditemukan. Ia berkata lagi: carilah peci tersebut, baru kemudian ditemukan, ternyata peci itu hanyalah peci lapuk. Khalid kemudian bercerita bahwa Rasulullah pernah melaksanakan umrah dan mencukur rambut kepalanya. Orang-orang saling berebutan rambut beliau, sementara aku sendiri mendahului mereka agar mendapat rambut bagian ubun-ubun Rasulullah. Aku menjadikanya (sarana tabarrukan) di dalam peci ini. Maka aku tidak menyaksikan peperangan, yaitu bersamaku, kecuali aku diberikan pertolongan (kemenangan)”

{Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky, Mafahim Yajibu an Tusahhaha, (Beirut: DKI, 2009), 218}

Selain itu, Rasulullah juga pernah mengarahkan untuk menyimpan sisa wudhu’ beliau. Sebuah riwayat dikatakan:

عن طلق بن علي، قال: خرجنا وفدا الى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبايعناه وصليناه معه، و أخبرناه أن بأرضنا بيعة لنا، فاستوهبناه من فضل طهوره، فدعا بماء، فتوضأ و تمضمض ثم صبه لنا في إداوة، و أمرنا، فقال : أخرجوا فإذا أتيتم أرضكم ، فاكسروا بيعتكم و انضحوا مكانها بهذا الماء و اتخذوها مسجدا، قلنا إن البلد بعيدا و الحر شديد و الماء ينشف ، فقال: مدوه من الماء، فإنه لا يزيده إلا طيبا.

“Dari Thalaq bin Ali, ia bercerita: kami pergi menghadap Rasulullah sebagai utusan, kami berbai’at dan solat bersama beliau. Kami mengabarkan kepada Rasululllah di tanah kami terdapat tempat baiat milik kami (kuil) maka kami hendak meminta untuk memberikan sisa air sucinya. Kemudian Rasulullah meminta air, ia mengambil wudhu’ serta berkumur-kumur dan mengalirkan airnya ke dalam kantong air. Dan rasul memerintah kami mengambilnya. Beliu bersabda: Pulanglah kalian, jika sudah sampai ke negeri kalian, hancurkan tempat bai’at (kuil) kalian, percikkan ke tempat itu dengan air ini, kemudian buatlah masjid. Kami berkata: sesungguhnya negeri kami jauh dan panas sekali, maka air ini akan mengering. Rasul bersabda: Perbanyaklah dengan air, karena sesungguhnya air ini tidak akan bertambah kecuali kebaikan.

(Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky, Mafahim Yajibu...... 219)

Hadith diatas menunjukkan bahwa bertabarruk kepada sisa air Wudhu’ dan yang lainnya itu dicontohkan oleh Nabi. Mengikuti penjelasan tersebut tentang bertabarruk pada sisa air wudhu, bukanlah hal aneh. Menjadi wajar jika seorang santri bertabaruk pada sisa air wudhu Kiai, seorang yang soleh dan menjadi pewaris para Nabi Muhammad. Wallahu a’lam.

Penulis: Ahmad Fatoni

× Image