Home > Sejarah

Wayang sebagai Media Dakwah Islam

Wayang melalui perjalanan panjang di Indonesia. Wayang dijadikan sarana menyebarkan agama Islam oleh Walisongo
Sumber Foto: Republika
Sumber Foto: Republika

NYANTRI--Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta, Kiai Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah dan Dalang Ki Warseno Slank meminya maaf terkait adegan pemukulan wayang dengan lakon menyerupai Ustaz Khalid Basalamah. Pentas wayang tersebut digelar di pondok pesantren Ora Aji, Jumat (12/2) lalu. Ki Warseno Slank yang bertindak sebagai dalang dalam pemantasan wayang tersebut menampilkan adegan wayang yang menyerupai wajah Ustaz Khalid Basalamah digebuk oleh wayang lain.

Adegan ini sontak menuai banyak kecaman dan menciptakan kegaduhan. Adegan tersebut dinilai ditujukan khusus kepada Ustaz Khalid Basalamah yang mengharamkan wayang dalam suatu acara pengajian. Meskipun Ustaz Khalid Basalamah telah menyampaikan klarifikasi mengenai pernyataannya.

Lewat akun resmi instagramnya @khalidsasalamahofficial, Senin (14/2) menyampaikan permintaan maaf. Ia juga menjelaskan bahwa potongan video yang bereda saat menjawab pertanyaan tak ada yang pernyataan mengharamkan wayang. Ia hanya mengajak menjadikan Islam sebagai tradisi.

Mungkin kita perlu kembali mengingat-ngingat bagaimana perjalanan wayang di Indonesia? Dan bagaimana Islam memanfaatkan wayang sebagai sarana dakwah untuk penyebaran Islam?

Wayang mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang. Wayang secara harfiah adalah bayangan, seiring waktu makna itu berubah dan sekarang wayang menjadi sebuah pertunjukan atau semacam teater yang memuat cerita-cerita tertentu dan dimainkan oleh aktor. Aktor wayang kulit dimainkan oleh aktor/aktris wayang yang menyerupai manusia. Kata wayang berasal dari kata Ma Hyang yang berarti menuju kepada roh spritual, dewa atau Tuhan yang Maha Esa. Wayang kulit adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya dari kelir.

Mengenai asal-usul wayang, terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan bahwa wayang itu asli Jawa. Pendapat ini mengatakan tokoh seperti Semar, Gareng Petruk, Bagong dan lain-lain hanya ada di negara Indonesia. Sementara pendapat lainnya mengatakan bahwa wayang berasal dari India yang dibawa oleh agama Hindu.

Namun sejak tahun 1950-an , buku-buku pewayangan mengatakan bahwa wayang merupakan produk asli Indonesia, bukan dari India atau dari negara lainnya. Wayang disinyalir sudah ada sejak zaman Airlangga yang memerintah Kerajaan Kahuripan (976-1012).

Namun, ada kemungkinan pertunjukan wayang ini sudah berlangsung sejak Abad ke-15 sebelum masehi yang dikenal dengan zaman Neolithikum. Zaman pra-sejarah di mana tanah jawa masih kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka percaya dengan kekuatan roh yang disebut dengan Hyang, sebuah kepercayaan awal bangsa Indonesia yang kemudian berganti seiring datangnya agama baru.

Pada awalnya, wayang merupakan pemujaan terhadap roh yang dilakukan pada malam hari. Mereka menyebutnya dengan “Pentas Bayangan” dengan peralatan seadanya oleh seorang sakti yang disebut dengan syaman. Namun, pada prinsipnya upacara ini sama dengan pertunjukan wayang saat ini. Kenapa pada malam hari? karena mereka percaya bahwa roh bergentayangan pada malam hari. Dari upacara magis-religius itulah mereka meminta pertolongan kepada para kekuatan roh yang mereka percayai. Biasanya isi di dalamnya bercerita tentang mitos-mitos dan kepahlawanan nenek moyang mereka.

Selanjutnya, budaya Hindu yang datang mempengaruhi upacara bayangan, pentas wayang memuat cerita baru semenjak cerita Mahabaratha dan Ramayana ditulis dengan bahasa jawa kuno yang bercampur dengan bahasa sansekerta pada masa pemerintah Dyah Balitung Raja Mataram 1 (892-910). Cerita Mahabaratha dan Ramayana mempunyai daya tarik bagi orang jawa karena dewa-dewa yang sama dalam cerita nenek moyang mereka. Kemudian mereka mencampur epos keduanya dengan mitos-mitos kuna jawa. Terjadilah akulturasi antara Hindu ke Jawa. Mayoritas masyarakat jawa gampang menerima ajaran baru karena toleransi mereka terhadap budaya yang baru datang, apalagi terdapat kemiripan budaya.

Perjalanan selanjutnya adalah periode akulturasi Islam ke Budaya Jawa baru era Hindu. Pada masa ini, wayang dijadikan sarana untuk menyampaikan ajaran Islam (sarana Dakwah) oleh walisongo, khususnya Sunan Kalijaga. Perubahan terjadi dari segi Jumlah dan bentuk wayang. Pada masa kerajaan Demak, wayang diperhalus dan ditambah jumlahnya.

Ajaran Islam tidak mengenal konsep trimurthi dan dewa-dewa yang pentheisthis, maka cerita wayang disesuaikan dengan ajaran Islam. Konsep dewa diubah sebagai pembantu Tuhan, seperti malaikat. Pada saat itu muncul cerita carangan baru yang bernafaskan Islam, seperti Dewa Ruci dan Jimat Kalimasada.

Pada masa Sultan Agung zaman Kerajaan mataram II, bentuk wayang disempurnakan, pada saat ini diciptakan tokoh-tokoh baru buta prapatan, seperti Cakil, Buta Terong, Buta Rambutgeni dan yang dimunculkan pada adegan Perang Kembang. Pada masa Kerajaan Surakarta Pujangga Ranggawarsita menulis banyak cerita wayang. Diantaranya adalah Pustaka Raja Purwa yang dijadikan pakem. Cerita dalam kitab tersebut berbeda dengan dua kitab, Mahabaratha dan Ramayana, melainkan bersumber dari cerita-cerita rakyat seputar nenek moyang dan raja-raja jawa. Cerita wayang terus berlanjut dengan memuat aliran kepercayaan, terkadang mengandung pesan-pesan terhadap pemerintah serta tak jarang menjadi sarana kritik seperti yang baru-baru ini terjadi.

Dari awal munculnya, wayang mempunyai visi menyampai pesan-pesan cerita keperceyaan tertentu, karena pada saat itu adalah pertunjukan yang sangat disukai oleh masyarakat. Maka, walisongo memanfaatkan media tersebut dalam berdakwah menyampaikan Islam. Cerita-cerita bernafaskan Islam disajikan. Misalnya dalam lakon Bima Suci, tokoh Bima sebagai tokoh utama meyakini terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan inilah yang menciptakan Bumi dan langit seisinya. Tidak hanya itu, dengan keyakinan tersebut Bima mengajarkan kepada saudaranya, arjuna. Lakon ini juga mengajarkan tentang menuntut ilmu, kesabarang, keadilan dan tatakrama sesama manusia. Wallahu a’lam.

Penulis: Ahmad Fatoni

× Image