Ketika Kiai Kampung Meminta Santrinya Kecilkan Volume Toa di Musholla
Sumber Foto: Republika
NYANTRI--Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla. Ia meminta volume speaker maksimal 100 desibel. Namun ini memunculkan kegaduhan setelah Gus Yaqut, sapaan akrabnya membandingkan volume dari Toa atau pengeras suara dari masjid dan musholla yang terlalu kencang dengan gonggongan anjing.
Menurutnya gonggongan anjing dapat menganggu ketenangan di suatu komplek jika banyak yang menggonggong. Begitu juga dengan volume Toa yang terlalu keras bisa mengangganggu. Kendati demikian Gus Yaqut tak melarang penggunaan Toa atau pengeras suara untuk adzan atau lainnya selagi volumenya tak terlalu keras.
Kementerian Agama memberikan klarifikasi bahwa Gus Yaqut tidak membandingkan suara adzan dengan gonggon anjing. Gus Yaqut hanya memberikan contoh sederhana suara-suara yang bisa menganggu bukan membandingkan suara adzan dengan gongongan anjing.
Pertanyaannya adalah benarkah volume suara dari Toa masjid dan musholla mengganggu? Pengalaman saya sebagai Muslim yang hidup di sebuah kampung di Sumenep, Madura tentang suara adzan di masjid dan musholla. Saya juga pernah menjadi muazzin dan tadarus rutin setiap bulan ramadan di musholla tempat saya mengaji.
Satu sisi ada momen gembira ketika suara-suara adzan, mengaji atau bershalawat terdengar di masjid atau musholla. Suara itu menghadirkan suasana religius bagi umat Muslim, terlebih ketika bulan ramadhan. Suara itu juga sebagai panggilan umat Muslim melaksanakan ibadah.
Namun entah apa perasaan saudara-saudara kita umat agama lain mendengarkan suara adzan, mengaji atau shalawat dengan volume Toa yang sangat kencang. Saya tak bisa memprediksi itu.
Dan yang pasti saya dan kawan-kawan saya pernah dimarahi oleh kiai saya K. Ghalib (Almarhum) ketika tadarus di bulan ramadhan karena volume speaker Toa terlalu keras. Kiai saya meminta untuk tadarus tak menggunakan speaker. Mungkin waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB.
"Jek nying ranying, pakene' suarana otabe tak usah ngangguy mic, tak bedhe oreng se ka genggu (jangan kencang-kencang, kecilin suaranya atau gak usah menggunakan mic, takut ada orang yang merasa terganggu)," kata kiai menghampiri kami yang sedang tadarus di musholla belasan tahun lalu.
Kami pun melanjutkan tadarus tak menggunakan speaker. Cerita saya hanya sebagian potret saja bagaimana respon kiai kampung terhadap volume suara dari Toa jauh sebelum teknologi dan media sosial berkembang dan masif. Wallahu a'lam.