Humor Santri (1): Ghosob Sandal
Sumber Foto: steemit
NYANTRI--Musta’in sebagai santri lawas yang mempunyai pengalaman luas di pesantren turun dari tangga lantai II pondok. Hari ini hari Jum'at. Para santri melaksanakan solat Jum’at masjid luar pesantren, karena pesantren sendiri tak punya masjid, mereka pergi ke masjid umum, berbaur dengan orang-orang kampung.
Sementara Musta’in kali ini pergi paling telat. Hanya ada beberapa santri, itu pun mereka langsung berangkat. Karena mereka tidak perlu mencari sisa sandal.
Seperti biasa dia berkeliling komplek pesantren terlebih dahulu, mencari sandal yang tak bertuan. Namun, tumben sekali sandal di halaman sudah bersih. Biasanya banyak sekali sandal berserakan di halaman, meski sandal selingkuh (sandal yang bukan pasangannya atau berbeda warna, biasanya terjadi pada sandal jepit). Dia susah menemukan sandal tak bertuan. Sepertinya banyak santri yang tak punya sandal dan saling ghosob.
Keadaan sudah sepi. Dilalah masih ada santri yang nampak. Sepertinya Santi baru yang kehilangan sandal di rak. Dia kebingungan, dilihat dari wajahnya yang kusut, sepertinya baru bangun tidur, hanya mencuci muka dan berwudhu’.
Tubuhnya mondar mandir, menilik rak-rak sandal di teras pondok. Kesalahannya, (maaf sebenarnya yang salah tetap yang ghosob) dia tidak menaruhnya di rak sandal kamarnya. Pesantren sengaja memberi jatah rak sandal di pesantren sebagai antisipasi agar sandal tak dicuri dan dighosob. Sehingga budaya buruk itu hilang dikehidupan pesantren.
Santri itu menghampiri Musta'in dengan muka masih ngantuk.
“Kang, ngerti sandalku di rak, Gak? Warna coklat merek Andos?”
“Gak, Kang. Aku juga sedang nyari sandal.”
“Hilang juga?”
“Enggak, nyari sandal yang tak bertuan.” Jawab Musta’in. Matanya tetap menyisiri halaman dan undakan teras pondok. Sementara mulut santri baru itu ternganga, dalam hatinya, yaaahhh hilang deh sandalku dibawa macam orang di depanku ini.
Musta’in kemudian pindah ke rak di komplek lain, diikuti santri baru yang matanya jelalatan mencari sandalnya yang saat ini raib.
“Sudah berapa kali kehilangan sandal?”
“Baru kali ini.”
“Owh cuma sekali.”
“Iya.”
“Kalau Beluma sampai sepulu kali tak perlu sedih.”
“Sampean sudah berapa kali?”
“Aku sudah berpuluh kali kehilangan sandal.”
“Hah?” Dia tak percaya. Musta’in memang mempunyai tampang kurang meyakinkan. Akhirnya Santri baru itu mencari lagi. Meski harapan sudah pupus. Pasti sandalnya sudah sampai lebih dulu di masjid. Mampus. Dia menepuk jidatnya.
Ghosob sandal adalah budaya yang masih dilestarikan oleh sebagian santri. Seperti budaya meminum sisa air minum Kiai. Saling berebutan. Begitu juga ghosob sandal. Bedanya ghosob sandal merupakan budaya yang tidak baik. Ada beberapa faktor sebenarnya, salah satunya karena terdapat santri yang uang jajannya pas-pasan, hingga membeli sandal pun tak mampu. Bukan tak pernah membeli, tapi sandalnya dighosob berpuluh kali hingga ia kapok membeli lagi, mending uang dibuat untuk jajan hehe. Faktor lain, bisa jadi karena senioritas di pesantren sehingga dia merasa paling punya kuasa. Bisa juga faktor gaya-gayaan, contoh, agar dikata orang yang sudah berpengalaman di pesantren Maka mereka menunjukkan diri dengan ghosob sandal. Yang paling terakhir sebenarnya punya kemungkinan yang kecil sih.
Musta’in adalah tipe yang kedua, dia adalah senior yang paham seluk-beluk pesantren, andai ia melanggar peraturan berat pesantren pun tak akan pernah dihukum (karena tak pernah ketahuan sih). Tapi sepintar-pintarnya tupai melompat, pasti jatuh juga. Maka berhati-hati dalam menjalani hidup ini.
Akhirnya, Musta’in menemukan sandal di taman komplek gedung muhadlarah, berdekatan dengan kamar ustadz. Sandalnya nampak bagus, berwarna coklat dan terbuat dari kulit. Ia cepat-cepat memakainya karena sudah terdengar di kejauhan qamat sudah dikumandangkan. Lantas, Musta’in berlari. Tubuhnya yang pendek buntek itu berlari bagai ikan buntal. Sudah jelas Musta’in akan terlambat, dia tak punya kecepatan berlari karena kakinya pendek.
Sementara Santri baru kebingungan antara berangkat dan tidak. Jika berangkat dia tidak akan pakai sandal. Namun akhirnya dia berangkat tanpa memakai sandal dan menapaki jalan aspal yang panas bagai neraka. Masjid sedikit jauh, sekitar setengah kiloan.
Solat Jum’at sudah selesai. Mereka berdua pun pulang paling terakhir karena harus melengkapi rakaatnya. Santri baru bertemu kembali dengan Musta’in. Ia melirik sandal baru di kedua kaki Musta'in.
Santri baru itu iseng bertanya kepada Musta’in.
“Kang, ghosob tuh tak dosa ya?”
“Ya gak lha.” Ucap Musta’in dengan santai.
“Kan dzalim mengambil manfaat dari hak orang lain tanpa izin.”
“Tadi, sandalnya aku temukan di mana?”
“Di taman pesantren.”
“Bukan di rak sandal kamar atau teras pondok kan?”
“Iya”
“Nah itu kesalahannya. Kebiasaan kita, naruk sandal itu di rak sandal, bahkan santri seharusnya membawa ke rak sandal di kamar masing-masing. Jika terdapat sandal tergelatak di halaman, apalagi di taman, itu namanya tak bertuan. Milik masyarakat umum”
Santri baru itu berpikir sejenak lalu mengangguk. “Iya juga ya. Tapi bukankah itu ada pemiliknya?”
“Ya gak ada, siapa pemiliknya jika tahu?”
Santri baru makin bingung. Niatnya tadi bertanya, bukan ditanya dan diajak mikir. Akhirnya dia menggelengkan kepala. Keduanya pun sudah sampai di pintu gerbang. Namun seorang ustad senior dan ketua keamanan berdiri menunggui santri. Mereka berdua memeriksa satu persatu sandal yang dipakai oleh santri. Hingga kemudia sampai pada giliran Musta’in.
“MUSTA’IIIIIINNNNNNNN!!!”
Santri-santri menoleh, matanya tertuju pada Musta’in. Sementara santri baru terkejut mendengar suara yang menggelegar dari Ketua Keamanan. Ketua keamanan menunjuk ke kedua kaki Musta’in. Tamatlah riwayatnya. Dia akan mendapat ta’ziran pesantren. Santri baru itu buru-buru pergi, takut dijadikan saksi.
“KAU TAHU SANDAL ITU MILIK SIAAAPPAAA??”
Mustain menggelengkan kepala. Getir.
“Sandal ustadzmu pun kau Ghosob.” Sambar Ketua keamanan. Suaranya bagai petir. Matanya memerah.
Musta’in nyengir “Maafkan saya ustadz, saya kira sandal tak bertuan.” Hehe.
Penulis: Ahmad Fatoni