Humor Santri (2): Petak Umpet dengan Abah
NYANTRI--Saat subuh datang, seperti biasa pengurus ma’arif pondok pesantren melakukan patroli ke kamar-kamar. Mereka berteriak, menggedor pintu dan ada yang membawa ketimpring (alat musik rebana yang paling kecil). Setiap dua tiga pengurus itu berkeliling ke komplek pondok bahkan perkamar, tak terkecuali di kamar Musta’in.
“Subuh Subuh subuh!!!”
“Dorr dorrr.”
Ketimprang
Lorong dan kamar pondok sedang gaduh. Para santri pun bangun. Ada yang sudah turun ke bawah. Berbeda dengan santri lawas itu, Musta’in justru semakin menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya.
Sampai giliran di kamar Musta'in. Pengurus Ma'arif membangunkannya. “Kang, Ayo subuh!!” ucap salah satu dari mereka sambil menepuk bahu Musta’in. Ketimpring beberapa kali ditabuh di dekatnya.
Namun ia cerdik. Setiap kali hendak tidur, ia selalu merancang skenario agar pengurus tahu jika dia udzur untuk turun ke musollah. Kali ini, ia sudah menyiapkan rencananya sejak tadi malam. Di sampingnya, sudah ada obat-obatan dan satu koyo di keningnya. Musta’in yang belum punya kesadaran tinggi untuk berhenti melanggar mulai beraksi mengelabuhi pengurus ma’arif.
“Kang, Subuh!!!” Salah satu pengurus ma’arif lain semakin kencang berteriak
Musta’in membuka selimut dari wajahnya sembari memasang wajah layu. “Kepalaku sakit, Kang”. Ucapnya. Suara Musta’in dibuat sedemikian rupa agar nampak sakit sehingga pengurus ma’arif percaya, lalu dia pergi meninggalkan kamar Musta’in. Berbeda dengan santri satu kamarnya, mereka mulai turun ke bawah untuk wudhu dan solat.
Musta’in sudah tenang, dia akan melanjutkan tidur sejenak. Entah apa motivasinya, dia terbiasa solat belakangan di kamarnya. Apesnya, setelah setengah dari kesadarannya hilang. Seorang santri dari bawah tangga berteriak. “Ada Abah.” Ucapnya sembari berjalan tergopoh-gopoh. Maksudnya adalah Kiai. Ya. Abah hampir setiap hari ikut membangunkan santrinya. Kabar santri itu seperti virus, santri lain pun ikut menginformasikan ke yang lainnya. “Ada Abah.” Ucap mereka, menandakan Kiai akan ke atas dan mengecek santrinya apakah masih ada yang tidur.
Mendengar santri menyebut Abah, Musta’in terperanjat. Ia bangun, dan segera mengumpet di belakang lemari yang renggang ke dinding. Maka ada ruangan di belakangnya, biasanya di pakai santri untuk tidur. Ada dua lemari di sana yang berjejer menghadap ke pintu kamar. Ada dua jalan di ujung Timur dan Barat lemari.
Abah datang, Mustai’in melihatnya dari celah kecil antara kedua lemari. Perasaannya mulai dredek. Takut Abah masuk dan memeriksa ke belakang lemari. Benar, nasib malang terjadi pada Musta’in. Abah berjalan dan hendak memeriksa ke belakang lemari. Tapi ia tidak kalah, karena takut ketahuan tidak turun ke Musolla, ia dengan hati-hati berjalan melewati ujung Timur lemari menuju ke depan lemari, sementara Abah lewat dari sebelah Barat lemari. Alhasil, Abah tidak menemukan seseorang di belakang lemari.
Karena tidak ada siapa-siapa di sana, Abah kembali dengan melewati ujung sebelah Timur. Musta’in berjalan dengan menjinjit, agar tidak terdengar langkah kakinya menghindari pandangan Abah yang terus menyisiri kamar Musta'in. Ia pergi ke belakang lemari lagi lewat ujung Barat lemari. Maka, Abah tidak mengetahui jika ada Musta’in di sana. Mereka bak sedang main petak umpet.
Abah lalu keluar. Ia pergi ke kamar lain. Karena Musta’in takut Abah kembali lagi ke kamarnya, ia pun mengambil baju dan kopyah dan cepat-cepat turun ke bawah untuk mengambil wudhu lalu kemudia ikut berjamaah.
Penulis: Ahmad Fatoni