Mengapa Perlu Bermadzhab?
NYANTRI--Pada zaman Rasulullah SAW, semua permasalahan yang berkaitan dengan syariat akan menemukan titik terangnya. Di samping adanya wahyu semasa Rasulullah hidup, Rasulullah sendiri memang berperan sebagai “shahib al-syariah”. Sehingga persoalan apapun pasti terpecahkan dan umat Islam tidak akan merasakan dilema tentang syariat.
Berbeda lagi ketika Rasulullah SAW wafat, dan diganti dengan masa sahabat. Umat Islam ditimpa kebingungan perihal syariat. Seperti halnya ketika hendak memutuskan suatu hukum dalam sebuah permasalahan. Sehingga implikasinya, muncul penetapan hukum baru yang dinamakan ijtihad. Dengan penetapan hukum baru inilah (ijtihad), para sahabat dirasa menemukan berbagai solusi dari setiap permasalahan yang ada.
Hasil dari ijtihad inilah yang kemudian diajarkan dan disebarluaskan melalui murid-muridnya, dari para tabi’in, kemudian tabi’it tabi’in, hingga pada akhirnya sampai kepada para madzhab yang kita ikuti sekarang. Dengan keterbatasan pengetahuan dan dangkalnya pikiran, tidak menutup kemungkinan, tidak bermadzhab hanya mengantarkan kita terhadap kekeliruan dan kesesatan dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran agama. Oleh karenanya, umat Islam sangat dianjurkan bahkan diwajibkan untuk mengikuti atau bermadzhab dengan tujuan memelihara keabsahan suatu bidang keilmuan yang didukung sanad yang jelas (muttashil) kepada Rasulullah SAW.
Mengenal Lebih Dalam Makna Madzhab
Secara bahasa, kata madzhab berasal dari Bahasa Arab dalam pola mashdar mim yang memiliki beragam makna. Kata dasarnya berupa ذهب yang bermakna hilang, pergi, menuju dan bahkan bermakna kematian. Satu-satunya makna yang terkait dalam tujuan penggunaannya adalah menuju. Karena madzhab berupa mashdar, maka maknanya menjadi tempat yang dituju.
Ada juga yang mendefinisikan madzhab sebagai shighat mashdar mim (kata sifat) dan isim makan (bermakna keterangan tempat) dari akar kata yang sama tapi dengan makna pergi. Sehingga kemudian, madzhab mempunyai arti tempat pergi berupa jalan (thariq).
Sedangkan menurut istilah;
ما اختص به المجتهد من الأحكام الشرعية الفرعية الإجتهادية المستفادة من الأدلة الظنية
“Artinya, sesuatu yang diambil secara khusus oleh seorang mujtahid dari hukum-hukum syar’i yang sifatnya furu’ ijtihadi, di mana dihasilkan dari dalil-dalil yang bersifat sangkaan.”
Dengan kata lain, seorang ulama mujtahid memiliki metode tersendiri dalam berijtihad. Sehingga pada akhirnya akan sampai pada sebuah hukum dan metode yang merupakan madzhabnya, yang di kemudian hari, hukum dan metode ini ditulis dalam bentuk kitab kemudian diajarkan kepada murid-muridnya, hingga tersebar, tersusun dan terjaga sampai detik ini.
(Galih Maulana, Memilih Madzhab Fiqih, Jakarta Selatan; Rumah Fiqih Publishing, 2018, hal 6.)
Bakar Abu Zaid dalam kitabnya, Al-Madkhal Al-Mufasshal Li Madzhab mengatakan;
المذهب هنا يعنى به: المذهب الفروعي ينتقل إليه الإنسان وطريقة فقيه يسلكها المتابع المتمذهب له. ويقال: ذهب فلان إلى قول أبي حنيفة, او ملك, او الشفعي, او أحمد, اي: أخذ بمذهبه وسلك طريقه في فقهه, رواية, واستنباطا, وتخريجا على مذهبه.
Dijelaskan bahwa yang dimaksud madzhab di sini adalah di dalam masalah furu’ agama. Di mana manusia mengikutinya, dan jalan seorang faqih yang diikuti oleh orang-orang yang mengamalkan madzhabnya. Dikatakan, seseorang mengambil pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’I atau Ahmad. Artinya, mengikuti jalan yang ditempuh mereka dalam masalah fiqih dan metode istinbath hukum mereka.
Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid berupa hukum-hukum Islam yang digali dari dalil-dalil syari’at yang rinci, serta berbagai kaidah (qawaid) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut. Sehingga satu sama lain berkaitan dan tentunya menjadi satu kesatuan yang utuh.
Urgensi Bermadzhab
Memang sudah menjadi keharusan bagi umat Islam untuk bermadzhab kepada ulama-ulama yang telah mumpuni dan mencukupi syarat dalam berijtihad, terutama dalam menjalankan ibadah yang sifatnya furu’. Seperti yang telah Allah firmankan dalam surah An-Nahl ayat 43;
فاسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون.
Artinya; “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Firman di atas menjadi indikasi kuat bahwa Allah memerintahkan umat Islam yang tidak paham terhadap isi dari al-Qur’an dan Hadis, untuk mengikuti atau bermadzhab. Karena pada dasarnya, setiap muslim harus selalu berpedoman dan kembali pada ajaran al-Qur’an dan Hadis. Namun, setiap muslim tidak dapat memahami isi dan maksud dari al-Qur’an dan Hadis jika hanya terpaku pada teks saja. Oleh sebab itu, perlu ditegaskan lagi, bahwa Allah memerintahkan umat Islam yang tidak paham terhadap isi dari al-Qur’an dan Hadis untuk segara bermadzhab, dengan tujuan memelihara dan menjauhi terhadap kesalahpahaman.
Selain itu, ada alasan lain mengapa umat Islam diwajibkan untuk bermadzhab. Yakni selama kita bermadzhab, secara tidak langsung telah kembali terhadap al-Qur’an dan Hadis. Sebelumnya, para pakar madzhab sudah menggali dan mencetuskan hukum-hukum terlebih dahulu yang kemudian dipublikasikan agar generasi selanjutnya lebih mudah dalam memahami dan mempraktikkannya. Dan kemudian menyimpulkan hukum (istinbath) itu memang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis.
Sebuah Konklusi
Dalam sebuah hadis shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhori, Rasulullah SAW pernah bersabda;
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم.
“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelahnya (tabi’in), kemudian generasi setelahnya lagi (tabi’it tabi’in).”
Dari hadis di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa, dari ketiga generasi inilah yang oleh Rasulullah SAW dikatakan sebagai paling baiknya manusia. Di samping, sejarah madzhab memang ada sejak masa tabi’it tabi’in, tepatnya pada generasi ketiga setelah tabi’in. inilah kemudian yang menjadi alasan utama kenapa umat muslim sangat dianjurkan bermadzhab. Wallahu A’lam.
Sumber referensi:
(Muhammad Ajib, Bermadzhab Adalah Tradisi Ulama Salaf , Jakarta Selatan; Rumah Fiqih Publishing, 2018, hal. 6.)
(Galih Maulana, Memilih Madzhab Fiqih, Jakarta Selatan; Rumah Fiqih Publishing, 2018, hal 6.)
Tentang Penulis:
M. Faidh Fasyani, mahasiswa dan santri STAI Al-Anwar Sarang Rembang.