Humor Santri Mbeling: Melempar Panci Nasi
NYANTRI--Dikisahkan ada sekelompok santri berjumlah lima orang. Mereka berasal dari kampung halaman yang sama, mendaftar menjadi santri juga berbarengan. Secara alamiah mereka membentuk seperti geng di pondok itu. Mereka selalu kumpul bareng dan merencanakan sesuatu bersama-sama. Mereka terkenal dengan santri mbeling.
“Hong, mara se atana’a molle tak lapar ka sakola’an (Hong, ayo nanak nasi biar gak lapar di sekolah),” kata Opik kepada Mehong, usai kegiatan mengaji ba’da shalat shubuh.
Opik ini yang paling mbeling dari lima santri di geng ini. Tetapi dia paling rajin kalau urusan masak-memasak di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Sementara Mehong, biasa menemani Opik jika sedang tidak tidur pagi.
“Iye mara, Pik (iya ayo, Pik),” kata Mehong menerima ajakan Opik.
“Dhuli, sare pancina, Hong (Cepatan cari panci nasinya, Hong),” perintah Opik kepada Mehong.
Panci buat nanak nasi di pondoknya memang tak bertuan. Jumlahnya hanya tiga dipakai untuk ratusan santri. Panci itu pun warisan dari santri-santri yang sudah lulus. Entah apa alasannya, para santri lebih tertarik memakai tiga panci warisan itu daripada beli.
Mehong bergegas mencari panci itu. Langkah pertama, Mehong mencari di halaman kamar-kamar pondok. Sebab di halaman ini biasanya para santri melemparkan pancinya usai nasinya dituang ke alas plastik, daun atau nampan. Tetapi Mehong tak menemukan satupun panci di halaman kamar-kamar santri.
Mehong mencoba peruntungan dengan mencarinya di dapur. Sebagaimana perkiraan Mehong, panci jelas tak mungkin ada di dapur. Sebab tak ada ceritanya santri-santi menaruh kembali panci itu ke dapur.
“Hong, bedhe pancina? (Hong, ada pancinya?),” tanya Opik dari jauh
“Tak nemmo gik, Pik, hahaha (Belum ketemu, Pik, hahaha),” jawab Mehong
“Coba sare e attassa genteng, Hong (Coba cari di atas genteng, Hong),” perintah lagi Opik kepada Mehong.
Feeling Opik benar, panci-panci itu ada di atas genteng. Mehong segera bergegas mengambil satu panci untuk diisi beras 2 kg. Cukup buat makan berlima. Di sela-sela menanti nasinya matang, Mehong dan Opik berbincang-bincang tentang peristiwa petak umpet dengan kiai jelang subuh.
“Gellek, sengkok amain tek keteghen ben Kiai, Hong (Tadi saya main petak umpet sama Kiai, Hong),” cerita Opik.
“ Engkok pas Kiai deteng se ajegheana ka kamar, sengko masok ka lamari se raje (Ketika kiai datang ke kamar buat bangunin, saya masuk ke lemari ukuran besar),” lanjut Opik.
“Terros e temmo? (terus ketahuan?),” tanya Mehong.
“Enjek, Kiai langsung ke kamar laenna (Enggak, Kiai langsung ke kamar santri lainnya),” kata Opik sambil tertawa lalu keduanya tertawa bareng terpingkal-pingkal.
Di sela-sela perbincangan, ada satu santri menghampiri mereka
“Pik, deggik jek buweng pancina, e genteya engkok ye (Pik, nanti jangan di lempar pancina, mau dipakai saya, ya,” kata santri itu kepada Opik.
“Iya,” jawab Opik.
Sepuluh menit kemudian nasi matang. Mehong membawa panci berisi nasi itu ke depan kamar mereka sambil memanggil tiga anggota geng lainnya.
“Yok, yok yok yok yok, makan makan,” ajak Mehong.
Nasi ditumpahkan ke alas nasi berbahan plastik oleh Opik. Mehong menaburi nasi itu dengan abon daging.
Opik hendak melempar panci itu ke halaman pondok, buru-buru Mehong mengingatkan Opik.
“Pik gellak kan bedhe se ngangguye (Pik tadi kan sudah ada yang bilang pancinya mau diganti,” kata Mehong.
“Syeh la dhina ra Hong, mak e kala’ e halaman (Siyeh, biarin Hong, biar diambil di halaman),” jawab Opik diikuti oleh gerakan tangannya yang melempar panci itu ke halaman pondok.
Begitulah kisah panci tak bertuan yang menjadi cerita lucu di kalangan santri di salah satu pondok di Sumenep, Madura, Jawa Timur.