Humor Santri (4): Hafalan dan Hukuman Thawaf
NYANTRI--Ujian akhir semester muhadlarah sebentar lagi akan berlangsung, tinggal beberapa hari saja. Musta’in sedang pusing, hafalan imrithinya belum juga selesai. Sementara terakhir setoran tinggal nanti malam. Kalau masalah hafalan, Musta’in memang sangat lamban. Dia tak punya daya ingat yang tinggi.
“Sudah tes hafalan?” Tanya Musta’in kepada Cak Aris.
“Sudah.” Kata Cak Aris. Meski dia nakal akan tetapi daya ingatnya sangat tinggi. “Kamu pasti mah belum.”
Hehe. Musta’in hanya nyengir.
“Ada rencana mau kabur?”
“Tak mungkin lha, aku tak mau dapat hukuman yang lebih berat.”
“Sudah hafal berapa?”
“Setengah. Itu pun banyak yang hilang.”
“Mampus. Dari dulu aku pengen tahu kamu tidak dapat takzir hafalan. Jika itu terjadi, kayaknya bakal kiamat deh.”
Musta’in membuka kopyahnya dan memukul kepala Cak Aris. “Ngawur.”
Bahaha
Hari ini dia akan menghafal seharian, besok adalah setoran terakhir hafalannya. Semua santri juga mulai khusyuk menghafal nadzam. Ke belakang ini adalah waktu di mana mereka yang belum hafal sangat genting-gentingnya. Biasanya mereka mencari tempat ternyaman. Salah satunya adalah di komplek pemakaman masyayikh. Hanya tempat itu yang hening dan sejuk karena letaknya di tengah sawah dengan pepohonan yang rimbun. Terdapat semacam tempat berteduh yang di disekitarnya terhampar pemandangan sawah dan pepohonan yang hijau.
Santri mempunyai tempat favorit masing-masing ketika menghafal. Begitu juga Musta’in, ia selalu pergi ke pemakaman masyayikh jika waktu tempo seteoran hafalan sudah dekat. Duduk seharian di sana, memandangi buku saku nadzaman imrithi kecil di tangannya. Hanya di sana ia merasa tenang. Akan tetapi, apalah daya dia yang tak punya kemampuan menghafal tinggi. Ibaratnya, jika bait kesepuluh dihafalkan, bait kesatu sampai sembilan hilang ditelan oleh waktu. Begitulah kelemahannya. Tapi dia terus berusaha. Motivasinya hanya satu, dia malu menjadi langgangan setiap tahun, ditakzir di tengah santri-santri lainnya.
“Oke lah, kalau begitu aku pamit hendak ke komplek pemakaman Masyayikh.”
“Jangan sampai hafal. Nanti malah kiamat.” Gojlok Cak Aris kepada Musta’in.
Keduanya kemudian berpisah.
Musta’in akan pergi ke pemakaman. Menjadi pejuang Imrithi. Bagi yang ingatannya normal sebenarnya bisa dilakukan selama setengah bulan untuk mengahafal seluruh bait. Bahkan ada yang seminggu sudah hafal. Akan tetapi berbeda dengan Musta’in. Dia adalah orang yang khusus. Perlu ketelitian dalam menghafal agar seluruh bait agar diingat secara sempurna.
Setelah sampai di sana ia langsung membuka mini buku nadzamnya dari saku. Mengulang setengah nadzam Imrithi yang sudah dihafalkannya sejak kemarin. Walau seringkali lupa. Pokoknya harus hafal. Begitu tekadnya. Setelah selesai muraja’ah, ia menambahkan hafalannya. Jika sudah mumet pikirannya, kopiahnya berubah, sudutnya, pindah ke samping.
Sudah seharian di sana. Bait imrithi belum ia hafalkan semuanya. Akhirnya karena malam sebantar lagi akan datang. Dia kembali ke pondok. Melangkahkan kakinya dengan lesu. Sesampai di kamarnya. Cak Aris melihat Musta’in yang lemas menegurnya.
“Hei. Sudah hafal, Kah?”
Musta’in diam. Wajahnya layu.
“Belum.”
“Wah, sudah biasa. Tak usah risau.” Hahah Cak Aris tertawa.
“Matamu!!” Sambar Musta’in
Akhirnya Cak Aris kabur dari pada kena sambar lagi dari Musta’in.
***
Saat ini waktunya Musta’in menghadap ke Pak Imam, wali kelasnya. Dengan sedih dan terpaksa, Musta’in harus mengaku jika belum hafal. Akan tetapi Pak Imam sebagai ketua kelasnya memberikan keringanan kepadanya. Karena sudah masyhur jika Musta’in tak punya daya ingat yang tinggi.
“Kamu boleh menghafalkan hanya setengah nadzam Imrithi.”
Mata Musta’in tak percaya. “Benarkah?”
Pak Imam melihat Musta’in tak percaya. Mata Musta’in begitu cerah mendengarnya. “Memang hafal?” Tanya Pak Imam.
“Insyaallah saya coba, Pak.” Kata Musta’in.
Pak Imam sudah tahu bagaimana Must’in, dia tidak yakin jika Musta’in bisa menghafal setengah dari nadzam. Kemudian Musta’in mencoba menarik nafas. Dia lafalkan satu bait demi satu bait. Ia melakukannya dengan cukup lancar, meskipun kerap berhenti untuk mengingat. Setengah jam telah berlalu. Musta’in sukses menyelesaikannya. Pak Imam tentu meloloskan dia. Ini adalah pertama kali Musta’in bisa lolos hafalan. Dia senang sekali. Dia berlari ke kamarnya dari kantor asatidz.
Setelah sampai di kamar, Cak Aris tak percaya mendengar kabar jika Musta’in bisa meyelesaikan hafalannya. Sebelumnya,
“Bentar-bentar, jangan-jangan besok kiamat nih.” Ucap Cak Aris sambil tertawa.
“Ngawur.” Sambar Musta’in.
Keesokan harinya para santri berkumpul di teras pondok masing-masing, baik lantai dasar atau lantai paling atas. Mereka menonton para santri yang belum bisa menghafalkan nadzam dari lantai dua. Termasuk Musta’in yang biasanya menjadi langganan dihukum Thawaf.
Saat ini para santri di bawah bersiap untuk thawaf mengelilingi komplek pondok pesantren. Santri berbaris dengan sama-sama memegang tali. Laiknya budak zaman dulu. Hukum ini cukup ampuh, sebab, santri pemalas seperti Musta’in pun merasa malu jika menjadi tontonan dan gojlokan orang sepondok. Santri yang tidak hafal itu mulai berjalan melewati komplek pondok dan gang-gang.
Lantas seluruh santri di teras berteriak..
“Huuuuuuuuuuuuu”
Sorak-sorai mereka seperti pasar mingguan. Terkadang ada yang melempar benda ringan seperti kardus. “Jare apa dadi kiai, hafalan wae ra becus.” Sambar Musta’in. Seperti dendam, dia pun mengumpat untuk pertama kalinya.
Penulis: Ahmad Fatoni