Dikira Undangan Umum, Kiai Muchit Muzadi Duduk di Paling Belakang
Sumber: Republika
NYANTRI--Salah satu hal yang dikenal dari K.H. Muchit Muzadi adalah sikapnya yang selalu berusaha tepat waktu dalam menghadiri setiap acara, tak terkecuali ketika menghadiri acara-acara NU yang terbiasa dengan jam karetnya. Dan kebiasaan tersebut dapat dimaklumi dalam masyarakat NU.
Berangkat dari itulah, Kalangan nahdliyin ketika menyelenggarakan sebuah acara akan memajukan waktunya dengan waktu semestinya. Semisal acara akan dimulai pada pukul 19.00, maka di dalam undangan panitia akan menulis pukul 18.00 atau 18.30. Bahkan acara yang seharusnya dimulai pada pukul 09.00 pagi sengaja oleh panitia ditulis dan diumumkan pada pukul 07.00 pagi dengan selisih waktu yang jauh sekali.
Diceritakan oleh K.H. Yahya Kholil Staquf, berikut tertera dalam buku Tawa Pesantren bahwa kakak dari K.H. Hasyim Muzadi itu terbiasa datang tepat waktu pada sebuah acara. Artinya, ketika mendapat undangan, Kiai Muchit selalu datang sesuai jam yang tertera dalam undangan.
Dalam tradisi pesantren atau Nahdliyiin, deretan kursi paling depan adalah milik kiai, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dengan kursi khusus, seperti sofa dan kursi empuk lainnya. Sementara paling belakang adalah milik undangan umum dengan kursi karet atau kursi besi yang berjumlah ratusan atau ribuan, tergantung seberapa besar acara tersebut. Yang paling naïf, jika tidak mendapat kursi yang tersedia, mereka rela duduk di tempat apapun, di jungkat-jungkit atau bersandar di pagar.
Di sebuah acara, Kiai Muchit datang tepat waktu. Beliau langsung duduk di kursi yang tidak bersofa atau barisan paling depan. Para panitia tidak menyadarinya, mereka sibuk mempersiapkan perlengkapan yang belum lengkap serta tidak ada panitia di lapangan yang mengenalinya sehingga Kiai Muchit bernisiatif sendiri untuk duduk.
Sebagai sosok yang pernah menjabat di PBNU selama berpuluh tahun, ia memang berpenampilan sederhana. Memakai kopiyah, baju batik dan bersarung. Ia tidak nampak sebagai ulama yang berpengaruh dan mempunyai ilmu yang sangat mendalam. Atau tak mencerminkan sebagai salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal, seorang kiai biasanya memakai surban dan baju putih yang mencolok.
Setelah beberapa saat ia duduk, seorang panitia menyadari jika terdapat seorang tua yang duduk sendirian di tengah-tengah barisan kursi.
“Maaf, Bapak dari mana?” Tanya panitia.
“Dari Jember.” Jawab Kiai Muchit dengan polos. Ia memang tinggal di Jember.
“Wah jauh sekali,” Komentar panitia ini basa-basi.
“Anu, Pak. Maaf, deret kursi ini untuk undangan khusus. Silahkan jenengan pindah ke tempat agak belakang, Ya?” kata panitia ini meminta Kiai Muchit berdiri dan mengantarkan ke deretan kursi paling belakang.
Kiai Muchit ikut apa kata panitia. Saat beliau duduk, para tamu mulai berdatangan bahkan orang-orang penting datang dan duduk di barisan depan.
Sudah menjadi kebiasaan, para undangan khusus tidak langsung masuk ke tempat acara, biasanya mendapatkan jamuan di rumah tuan rumah. Namun tuan rumah cemas pada waktu itu, karena mereka tidak melihat kedatangan Kiai Muchit. Paniti juga merasa kebingungan. Padahal acara sebentar lagi akan dimulai. Begitu juga dengan para jamaah.
“Ada apa, Pak?” Tanya Kiai Muchit ke salah satu hadirin.
“Sepertinya yang ngisi acara belum datang.” Jawabnya.
“Oh.” Kiai Muchit manggut-manggut, “telat datang mungkin.” Celetuk Kiai Muchit. Ia duduk dengan tenang kembali, menduga bahwa ada satu tamu penting yang belum hadir.
Di tengah kebingungan itu, tuan rumah mengenali sosok Kiai Muchit berada di tengah hadirin di kursi paling belakang.
“Astaghfirullah, Pak Kiai.” Sambil mendekat dan mencium tangan Kiai Muchit. Sang tuan rumah malu setengah mati. “Sudah ditunggu dari tadi, Kiai.”
Kehebohan terjadi di kursi belakang. Para Jamaah terkejut ketika tahu jika tamu undangan penting itu berada di antara mereka. Dan beliaulah yang akan mengisi acara tersebut malam ini.
“Lho? Saya pikir kalian nungguin siapa. Saya dari tadi di belakang sini,” kata Kiai Muchit enteng.
Sumber: Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Fatoni