Home > Serba Serbi

Dikira Ketinggalan Kereta, Justru Teman Kiai Muchit Salah Naik Kereta

Cerita lucu ini terjadi antara Kiai Muchit dan temannya Gaffar yang hendak naik kereta Mutiara Selatan Jurusan Surabaya
Keterangan: KH. Muchit Muzadi
Keterangan: KH. Muchit Muzadi

Sumber Foto: Republika

NYANTRI--Pada suatu siang (kira-kira pada tahun 1990-an) baru saja Kiai Muchit Muzadi menyelesaikan urasan di Jakarta. Ditemani Gaffar, ia akan pulang ke Surabaya dan berencana menaiki sebuah kereta bernama Mutiara Selatan jurusan Surabaya. Karena takut terjebak macet, mereka berdua berangkat lebih awal ke Stasiun Gambir.

Begitu sampai, Gaffar baru tahu jika jadwal kereta masih lama. Mereka tentunya akan menunggu lama. Gaffar mempunyai ide dan disampaikan kepada Kiai Muchit.

“Kiai, bagaimana kalau kita ngopi dulu?” Sebagai orang yang lahir di Jawa Timur, tepatnya di Tuban dan tinggal di Jember, tawaran minum kopi adalah ajakan yang pantang ditolak.

“Baik, daripada kita menunggu kereta di ruang tunggu begini, lebih baik kita duduk-duduk sambil minum kopi.” Sambut Kiai Muchit dengan berbunga-bunga.

Keduanya pun mencari warung di dekat stasiun. Sambil ngopi, mereka pun bisa membuat suasana yang letih menunggu kereta menjadi cair. Kedua tokoh NU tersebut saling mengobrol dengan asik sampai lupa waktu. Tidak sadar jika kereta sampai dan sekarang terdengar peluit kereta yang menandakan kereta akan segera berangkat dari stasiun gambir.

“Lho, itu kereta kita bukan?” Tanya Kiai Muchit.

Gaffar yang panik mendengarnya langsung berdiri.

"Wah kereta kita mau berangkat itu.” Kata Gaffar sembari tergesa-gesa membayar kopi.

“Ayo, Kiai!!!”

Lantas mereka kemudian tergopoh-gopoh mengejar kereta tersebut. Tentu, Gaffar sebagai orang yang lebih muda berlari lebih cepat. Ia kemudian meloncat naik. Sementara Kiai Muchit yang cukup sepuh hanya bisa berlari-lari kecil. Dan kereta semakin lama, kereta bukan semakin pelan, akan tetapi semakin cepat.

"Cepat, Kiai. Cepat lari.” Teriak Gaffar sambil mengulurkan tangannya kepada Kiai Muchit.

Paru-paru Kiai Muchit yang sudah tua itu membuatnya berlari sambil ngos-ngosan. Merasa bahwa ia tidak akan bisa mengejar kereta tersebut. Ia pun pasrah hanya bisa memandang Gaffar yang mulai menjauh bersama kereta yang berjalan. Melihat adegan yang seperti film-film India tersebut, seorang petugas mendekat Kiai Muchit dan bertanya,

”Ada apa, Pak?”

"Saya ketinggalan kereta.“ Kata Kiai Muchit dengan napas yang masih memburu.

“Bapak mau ke mana?” Tanya petugas lagi.

“Mau ke Surabaya. Aduh, padahal saya harus segera sampai ke Surabaya ini,” jawab Kiai Muchit lemas tak berdaya.

“Lho kok bisa ketinggalan? Memangnya tadi dari mana, Pak?” Tanya Petugas.

“Karena kereta api Mutiara Selatan jurusan Surabaya masih lama berangkatnya, kami ngopi dulu. Eh tiba-tiba kereta berangkat. Teman saya sudah naik duluan. Saya sudah tidak kuat kalau sampai mengejarnya. Capek saya,” terang Kiai Muchit kecewa. Wajah tugas stasiun mendadak berubah khawatir.

“Tapi kereta Mutiara Selatan belum berangkat, Pak.” Kata Petugas.

“Itu keretanya masih di stasiun," Tunjuknya ke arah jalur lain.

"Lho yang berangkat tadi kereta apa?”

"Itu kereta Bima, Pak.” Kata petugas.

“Tujuannya ke mana?”

"Ke Malang, Pak.” Jawab petugas.

Mendengar itu, Kiai Muchit bukan gembira karena tidak salah naik kereta, justru dia berlari menuju ujung peron sambil berteriak sekencang mungkin.

“Far .. Gaffaaar .!! Kamu yang salah naik kereta, Faaaaaar ..!”

Sumber: Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi

Penulis Ahmad Fatoni

× Image