Ketika Kiai Hasan Mutawakkil Dibuat Panik oleh Gus Dur
NYANTRI--Di Probolinggo Jawa Timur, terdapat pondok pesantren yang cukup tua, berdiri pada tahun 1839 Masehi, yaitu pesantren Zainul Hasan Genggong atau dikenal dengan sebutan Pondok Genggong. Pondok pesantren ini bisa dibilang lebih tua dari pondok pesantren legendaris, seperti Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak dan Pondok Pesantren Tebuireng.
Pada Suatu hari Gus Dur bersama Dr. Muhammad Athaillah S.H., intelektual muda NU menyempatkan diri untuk berkunjung ke pesantren tersebut, mengingat pondok tersebut merupakan warisan tua di antara pesantren lainnya. KH. Moh. Hasan Mutawakkil ‘Alallah, atau biasa dikenal dengan Gus Mutawakkil, sang pengasuh Pondok Pesantren menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Gus Dur, mengingat status Gus Dur pada waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU.
Pondok Genggong merupakan satu di antara agenda Gus Dur dalam kunjungannya ke pesantren-pesantren di Jawa Timur. Karena takut capek, Gus dur pamit untuk undur diri kepada Gus Mutawakkil.
“Besok mesti ke pesantren-pesantren yang lainnya.” Pamit Gus Dur.
“Oh Injih, Gus.” Kata Gus Mutawakkil.
“AKu titip Hikam, ya?” kata Gus Dur sambil berlalu.
Karena pada waktu Gus Dur pamitan acara masih berlangsung, serta riuh-riuh para hadirin sangat ramai. Begitu juga Gus Mutawakkil sembari sibuk mengurusi tamu yang lainnya, ia tidak cukup mendengar dan paham apa yang dikatakan oleh Gus Dur. Acara selesai, kemudian Gus Mutawakkil istirahat karena kecapekan.
Pagi harinya, Gus Mutawakkil panik dan mondar-mandir di sekitar tempat acara. Para santri bingung melihat kiai sangat panik. Ia juga naik ke kursi yang dipakai di acara tadi malam. Gus Mutawakkil kemudian memanggil santrinya.
“Anu, Kang, tolong carikan al-Hikam. Tadi malam Gus Dur titip kitab itu. Tapi saya enggak tahu ditaruk di mana.” Kata Gus Mutawakkil. Akhirnya seluruh santri di pondok ikut mencari.
Al-Hikam merupakan kitab tasawwuf karangan Syeikh Ibnu Athaillah al-Sakandari, seorang ulama produktif dari mesir pada era kekuasaan Dinasti Mamluk. Itu kitab favorit bagi banyak kiai dan santri karena kandungan di dalamnya yang memuat hikmah.
Setelah dicari-cari berjam-jam, kitab yang dimaksud tidak kunjung ketemu. Kemudian datanglah K.H. Nukman Hamid alias Gus Nukman dari Pasuruan yang kebetulan juga hadir pada acara tadi malam. Gus Nukman merasa herang dengan Gus Mutawakkil yang kebingungan dan mondar-mondir di sekitar pintu ruang tamu.
“Ada apa toh, Gus? Kok keliahatan repot banget? Nyari apa?” Tanya Gus Nukman.
Dengan wajah yang panik, Gus Mutawakkil menjelaskan ceritanya, serta pesan dari Gus Dur tadi malam. “Aku kok ya gak nanya dulu kitabnya ditaruk di mana sama Gus Dur.” Kata Gus Mutawakkil menyasal. “Bisa dimarahi nanti aku.” Tambahnya.
Mendengar paparan dari Gus Mutawakkil itu, Gus Nukman kemudian tersenyum. Ia menunjukkan seseorang yang sedang tidur di atas karpet ruang kamar tidur tamu.
“Yang dititipkan oleh Gus Dur tadi malam itu, ya Gus Hikam ini.”
Tentu saja Gus Mutawakkil bingung, sebab yang ditunjuk Gus Nukman itu adalah Dr. Muhammad Athaillah S.H., tamu yang tadi malam datang bareng Gus Dur.
“Lho , nama sampeyan siapa, Kang?” Tanya Gus Mutawakkil.
“Hikam, Gus.” Kata seorang yang disebut Hikam.
Setelah dicek , ternyata nama lengkapnya adala Muhammad Athaillah Shohibul Hikam, orang yang kelak jadi Menteri Riset dan Teknologi di masa pemerintahan Gus Dur.
“Masya’allah, aku kira Hikam itu al-Hikam karangan Ibnu Athaillah,” kata Gus Mutawakkil.
Sumber: Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Fatoni