Kiai Ali Maksum Menangkap Basah Santrinya Mencuri
NYANTRI--“Para santri yang aku sayangi, Barang-Barang milik kiai, entah itu kelapa, ayam, buah-buahan dan alin-lain, itu boleh diambil, boleh dicuri, halal.” Kata Kiai Ali Maksum, pengasuh Pondok Pesantren al-Munawwir suatu kali.
Mendengar pernyataan dari Kiai Ali, para santri merasa kegirangan senang sekali. Apalagi ketika melihat ayam-ayam kiai yang berseliweran di komplek pondok. Santri menjadi terobsesi untuk mencuri ayam-ayam kiai itu. Lumayan sudah dihalalkan oleh kiainya.
“Asalkan tidak ketahuan.” Lanjut Kiai Ali, tiba-tiba.
Kiai Ali Maksum mengumumkan kepada santrinya apabila ada yang ketahuan mencuri barang-barangnya akan dikenai denda sebesar 10 ribu rupiah, sedangkan bagi santri yang melaporkan kepada kiainya, akan mendapatkan 5 ribu rupiah.
“Wah.. kalau begitu sama saja enggak boleh mencuri itu namanya.” Kata seorang santri nakal yang merasa ditipu oleh Kiai Ali.
Cerita ini diceritakan oleh KH. Musthafa Bisri yang diceritakan ulang oleh Ahmad Rifqi A.F. Kemudian dinarasikan ulang oleh Ahmad Khadafi dalam bukunya Dari Bilik Pesantren. Dari keterangan Gus Mus, ada dua orang yang pemberani yang dikemudian hari menjadi Kiai Besar.
Keduanya pun bersekongkol untuk liwetan (masak nasi malam-malam). Hari itu Kebetulan keduanya sedang kelaparan dan tidak punya uang untuk membeli makan. Dengan nekat mereka pun mencuri bahan-bahan pokok milik Kiai Ali. Mulai dari beras, kelapa sampai ayam. Setelah semuanya selesai diambil serta sudah selesai dimasak. Mereka kemudian memberanikan diri untuk sowan kepada Kiai Ali.
“Assalamu’alaikum, Kiai.” Kata santri nakal ini.
“Iya, ada apa, Nak?” Jawab Kiai Ali.
“Anu, saya sama teman sedang makan-makan.” Kata Santri itu.
Pemandangan ini memang lumrah, mengingat Kiai Ali sangat dekat dengan santrinya. Tidak ingin mengecewakan santrinya, Kiai Ali pun bersedia untuk makan bersama santrinya tersebut menggunakan piring besar khas pesantren.
Dengan santai Kiai Ali bertanya. ”Wah tumben, ada acara apa ini?”
“Tasyakuran, Kiai.” Kata salah satu santri.
“Kalian ini banyak duitnya, Ya? Kok, ada ayam segala?” Tanya Kiai Ali.
Kedua santri tersebut hanya tersenyum-senyum saja.
“Ngomong-ngomong kalian beli ayamnya di mana?” Tanya Kiai Ali.
Salah satu dari mereka sudah begitu ketakutan mendengar pertanyaan Kiai Ali karena merasa Kiai Ali sudah tahu perbuatan mereka.
Riwayat lain, dari KH. Buchori Masruri, sebelum keduanya memasak sebenarnya Kiai Ali sudah mengetahui lebih dulu. Itu disebabkan karena kejadian ketika memanjat pohon kelapa. Mereka membagi tugas. Ada yang naik dan satu lagi jaga di bawah sembari memegang senter.
“Jangan pernah nyorot ke atas, lho ya. Nanti kelihatan, bisa ketahuan kita.” Kata yang memanjat kelapa kepada temannya yang bertugas jaga di bawah. Suasana begitu gelap. Pada saat itu terdengar suara langkah kaki dari ndalem kiai.
Tak sanggup mengatasi rasa takutnya, temannya yang berada di bawah langsung lari tunggang langgang meninggalkan temannya yang berada di atas pohon kelapa. Saat Kiai melewati pohon kelapa itu, beliau mendengar suara dari atas kelapa. Curiga ada sesuatu, Kiai Ali mengambil senter dan menyorot ke arah yang dicurigai sebagai asal suara.
“Guoblok! Sudah dibilangi jangan nyenter ke sini . Cepet matikan, nanti ketahuan.” Hardik santri yang masih berada di atas pohon kelapa.
Kiai Ali pun memilih untuk tidak bersuara. Sedikit saja ia bersuara, seperti , “siapa ya, di atas?” kemungkinan terburuk santri yang sedang memetik buah kelapa itu bisa jadi akan jatuh karena panic.
Kiai Ali lebih memilih untuk menunggu di rumahnya. Sampai kemudian kedua santri tersebut pergi ke ndalem untuk mengajak Kiai Ali makan bersama.
“Terima kasih ya sajiannya, Nak.” Ucap Kiai Ali setelah beliau selesai menyantap makanan.
“Oh Iya, satu lagi. Jangan lupa untuk bayar dendanya.” Kata Kiai Ali sambil meninggalkan santrinya yang langsung pucat pasi. Mereka berdua rupanya benar-benar ketahuan.
Sumber: Dari Bilik Pesantrek karya Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Fatoni