Bowo, Seorang Katolik yang Takut Masuk Pesantren
NYANTRI--Terang saja Nyai Dwi Indriani panik luar biasa. Ibu tiga anak tersebut sadar dompet dalam tasnya lenyap ketika akan menyiapkan uang membayar tol. Mobil sudah masuk gerbang tol Bekasi Timur. Antrian mengular. Di mobil bersama suaminya, Kiai Ahmad Iftah Sidik, pengasuh Pondok Pesantren Fatahillah, Bekasi, Nyai Indriai tentu saja kebingungan mencari-cari dompet.
Rencananya, pagi itu (13/6), Kiai Iftah beserta istri akan menuju ke luar Batang, Jakarta Utara. Dari arah Bekasi, keduanya menuju ke makam Habib Husein di Luar Batang karena mendapat informasi bahwa guru pasangan suami-istri ini, Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan akan ke sana. Bagi Kiai Iftah, bertemu dengan seorang guru barang sejenak adalah sebuah keistimewaan. Mumpung Habib Luthfi berada di Jakarta serta sekalian akan berziarah ke maka Habib Husein Luar Batang.
Masalahnya adalah, setelah keluar dari pesantrennya. Bensinnya tinggal sedikit. Di saat bersama Nyai Indriani dan anaknya juga kebelet buang air kecil. Maka mereka mampirlah ke pom bensin di daerah Jatimulya, Bekasi. Karena keadaan sangat terburu-buru Nyai Indriani langsung masuk ke mobil dan tidak sadar jika dompetnya terjatuh di pom bensin.
Mereka baru sadar dompetnya terjatuh di pom bensin ketika sudah melaju jauh. Mereka pun ragu antara putar balik atau melanjutkan perjalanan. Berulang kali Nyai Indriani Nampak komat-kamit.
“Uangnya sih tidak seberapa. Tapi surat-surat penting termasuk ATM rekening pesantren ada di sana,” terang Kiai Iftah. “Gimana? Putar balik apa terus?” Tanya Kiai Iftah kepada istrinya.
Nyai Indrian mencoba untuk menguatkan diri. Setelah menarik nafas panjang ia berkata, “Suda, terus saja.”
“Enggak apa-apa dompetnya hilang? Mengurus KTP dan ATM-nya ribet lho.” Tanya Kiai Iftah meyakinkan.
“Pasrah saja.” Jawab Nyai Indriani, “Daripada ketinggalan ziarah sama Abah.”
Kata “Abah” adalah panggilan dari santri-santrinya kepada seorang Kiai, sebagai pertanda kedekatan antara santri dan Kiainya.
Dengan keyakinan istrinya itu, Kiai Iftah langsung tancap gas memasuki tol dan memacu ke arah Luar Batang. Sebenarnya, kebingungan masih merayap dalam benak keduanya. Antara buru-buru menuju ke Luar Batang dengan harapan masih bisa bertemu dengan Habib Luthfi atau bingung mengingat dompet Nyai Indriani yang jatuh di pom bensin.
Nyai Indriani tidak berhenti berkomat-kamit, dalam hatinya tetap teringat dompetnya yang hilang. Dia masih membayangkan bagaimana ribetnya mengurus kartu-kartu itu. Hal itulah yang membuat dirinya terus tanpa henti berkomat-kamit membaca suatu bacaan. Pandangannya seperti menatap kosong.
“Ngapain komat-kamit terus? Tadi katanya sudah pasrah?” Tanya Kiai Iftah.
“Tawassul sama Abah Habib Husein Luar Batang dan Habib Hasan Kramat Jati. Mohon sama Allah mudah-mudahan dompet tersebut masih rezeki.” Jawab Nyai Indriani kali ini memejamkan mata.
Saat mobil akan memasuki Tol Halim, ponsel Kiai Iftah bordering. Nyai Indriani yang mengangkat telpon, ternyata Ade Nahum, tetangga Kiai Iftah.
“Ada apa, Pak Ade?” Tanya Nyai Indriani.
“Ini, Bu, ada orang nanya alamat di rumah saya. Katanya, dia sekuriti di Pom Bensin Pengisian. Dian nemu dompet alamat kampung sini. Ini mau dibalikin dompetnya.” Jelas Ade.
Suara yang berbicara di telpon pun mendadak berubah. Sepertinya, telpon sudah berpindah tangan.
“Ibu, Maaf saya Bowo. Sekuriti pom bensin. Saya tadi nemuin dompet di depan toilet. Mohon maaf saya buka untuk nyari kartu identitas. Tapi, demi Tuhan saya tidak nyentuh uangnya. Saya hanya ingin membantu mengembalikan ke pemiliknya.”
Spontan Kiai Iftah dan istrinya berseru. “Alhamdulillah.” Rasanya seperti melepas semua beban hidup dari pundak mereka pagi itu.
Masih dalam sambungan telpon, Ade mencoba untuk menawarkan imbalan untuk Bowo dan disetujui oleh Nyai Indriani. Akan tetapi, Bowo menolaknya. Begitu mereka berdua kembali ke kediaman pada malam harinya, ia langsung mencari alamat Bowo, sosok misterius yang telah menemukan dompet Nyai Indriani. Mereka berdua mencari rumah Bowo sesuai kisi-kisi yang diberikannya kepada Nyai Indriani. Namun, mereka pulang tanpa membawa hasil apa-apa.
Mereka berdua tidak menyerah sampai di situ. Ia kembali lagi keesokan harinya, namun dengan halangan tertentu mereka kembali batal menemukan Bowo. Karena pada saat itu Bowo tidak masuk kerja. Kiai Iftah rencana hendak menemuinya di tempat kerjanya. Akhirnya mereka hanya mendapatkan alamat rumah serta rute dengan detail. Namun karena pagi itu, mereka akan kedatangan tamu di pesantren, akhirnya mereka tidak bisa mencari alamat yang baru saja mereka berdua peroleh.
Setelah itu mereka berdua tidak sempat lagi mencari rumah Bowo, karena kesibukan di pesantren, seperti mengajar santri. Kiai Iftah juga sudah melupakan urusan tersebut karena sangat padatnya kegiatan. Namun pada hari Senin pagi, rumahnya didatangi orang yang tidak dikenal dengan perawakan paruh baya. Jalannya sudah pincang.
Di pintu rumahnya, ia hanya berkata, “Bowo sekuriti SPBU.” Karuan saja Kiai Iftah dan Istrinya senang bukan kepalang. Orang yang dicari beberapa hari ini akhirnya bisa ketemu juga.
Kedatangan Bowo ke kediaman Nyai Indriani bukan karena hendak meminta imbalan atau hadiah. Itu hanya semata-mata karena ada laporan kepadanya jika terdapat dua orang yang menanyakan alamat nya beberapa kali. Sehingga Bowo merasa khawatir takut terdapat kekeliruan pada dompet yang ia kembalikan.
Barangkali ada sesuatu yang hilang, sehingga Kiai Iftah harus mencarinya. Tentu saja Kiai Iftah menjelaskan jika ia mencari Bowo karena ini mengucapkan terima kasih secara langsung kepada Bowo. Lagian jika karena hendak menjelaskan perihal dompet itu, kenapa Bowo baru datang pagi itu ke pesantren Fatahillah.
“Saya takut tiap hendak datang ke sini, karena ada pesantrennya.” Kata Bowo. “Saya Katolik.”
Mendengar itu lantas Kiai Iftah dan Nyai Indriani terkejut. Bukan karena agama Katolik yang ia sebutkan tadi, akan tetapi lebih pada ketakutan yang ia rasakan pada pesantren. Saat itu Bowo menjelaskan bahwa ia takut jika orang-orang pesantren tidak akan menerimanya hanya karena perbedaan agama. Memang pada waktu itu terdepat beberapa peristiwa perselisihan antar umat berbeda agama, sehingga persoalan tersebut begitu sensitif.
“Pak Bowo, kami itu dari dulu diajari oleh guru-guru dan pemimpin-pemimpin kami untuk mencintai saudara kami sesama manusia, meski berbeda suku, agama dan bangsa. ” Terang Kia Iftah sembari menenangkan hati Bowo bahwa ia bisa kapanpun main ke rumah Kiai Iftah.
Begitu mendengar penjelasan dari Kiai Iftah, ia pun merasa tenang dan lega.
“Seperti mendapat saudara baru dengan orang-orang pesantren.” Katanya. Bowo pun berjanji suatu saat akan mengajak anak dan istrinya untuk berkunjung ke Pondok Pesantren Fatahillah.
Sebelum Bowo undur diri untuk melakukan aktifitas bekerjanya, Kiai Iftah mengambil beberapa barang sebagai ucapan terima kasih serta membawakannya sarung. Walaupun sarung tersebut tidak akan dipakai untuk bertaraweh.
“Yah, paling tidak, bisa dipakai untuk selimut ketika jaga malam.” Kata Kiai Iftah.
Sumber: Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi.
Penulis: Ahmad Fatoni