Kiai As'ad Sukorejo dan Preman Kampung, Preman: Gampang Itu Kiai, Paling Anak Buah Saya yang Mencuri
Sumber: NU Online
NYANTRI--Kiai As’ad Samsul Arifin merupakan tokoh NU yang mengantarkan tongkat dan tasbih dari Kiai Khalil kepada KH. Hasyim Asy’ari sebagai tanda bahwa Kiai Hasyim direstui oleh Gurunya untuk mendirikan Organisasi Ulama. Beliau menjadi Dewan Penasehat Pengurus NU sampai wafat diusianya yang ke 93 tahun pada tahun 1990.
Selain sebagai ulama, beliau ternyata seorang jawara yang disegani di daerah, kabupaten Situbondo. Keahliannya dalam bidang pencak silat lokal bisa diperhitungkan. Akan tetapi beliau tidak menggunakan keahliannya ini dalam bidang dakwah, meski kemampuan beliau di atas rata-rata.
Maka sebagai seorang ulama, ia tidak menggunakan cara dakwah yang lazim. Salah satu contohnya menghadapi pencurian sandal di Masjid. Karena pada saat itu marak sekali sandal ketika solat Jum’at hilang. Maka pada suatu Jum’at beliau pergi ke salah satu dedengkot preman di kawasan itu guna menyelesaikan persoalan tersebut.
“Sandal jamaat di masjid ini sering hilang kalau salat Jum’at. Saya bisa minta tolong untuk mengamankannya?” Pinta Kiai As’ad kepada sang Dedengkot Preman.
Di lingkungan sekitar pesantren, Kiai adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati, meski tidak sejagoan Kiai As’ad. Melawan kiai bisa menjadi kualat, maka preman tersebut tidak berani melawan Kiai As’ad dan bersedia melakukan apa yang beliau minta.
“Gampang itu, Kiai Paling yang mencuri itu masih anak buah saya. Biar saya yang jaga.” Tanggap si preman, karena bangga telah dipercaya dan merasa berguna di masayarakat.
Pembicaraan itu kemudian disepakti bahwa si preman itu tidak apa-apa tidak ikut salat Jum’at (toh dia tidak pernah solat Jum’at sebelumnya), tetapi ia akan menjaga setiap pasang sandal yang berada di luar pelataran masjid sepanjang solat Jum’at berlangsung.
Ketika datang solat Jum’at, si preman datang untuk berjaga-jaga di depan masjid agar sandal tidak ada yang mencuri. Benar saja, tidak seorang pun merasa sandalnya dicuri. Sepertinya pelaku sebelumnya Nampak getir untuk melakukannya lagi.
Penjagaan sandal tersebut berlangsung sampai hari Jum’at keempat. Dan pada saat itu si preman merasa ada sesuatu yang aneh. Ia merasa jika sosok yang ditakuti banyak orang itu telah hilang pada dirinya, pekerjaan menjaga sandal adalah sesuatu hal yang hina. Karena itu, si preman kemudian menghadap kepada Kiai As’ad. Ia protes.
“Masa saya harus jaga sandal tukang becak, penjual kacang goreng dan orang-orang yang remeh gini?” Gugatnya.
“Harusnya orang-orang ini lah yang jaga sandal saya, bukan sebaliknya.”
Dengan gestur bingung Kiai As’ad balik bertanya. “Kalau kalian solat Jum’at, terus siapa yang akan jaga sandal?”
Si preman pun bingung. Apa yang dikata oleh Kiai As’ad ada benarnya. Akhirnya si preman pun mempunyai ide.
“Tenang, Kiai. Saya punya banyak anak buah. Nanti biar mereka yang menjaga sandal di masjid, sementara saya ikut solat.” Katanya dengan sangat bangga. Pada akhirnya dia ikut solat dan sandalnya akan dijaga. Kiai As’ad pun setuju dengan usulan itu.
Kemudian si preman menyuruh salah satu dari anak buahnya untuk menggantikan dirinya menjaga sandal di masjid, sementara dirinya ikut solat Jum’at. Sampai beberapa minggu kemudian, anak buah tersebut merasakan hal yang sama seperti si dedengkot tersebut.
“Masa preman suruh jaga sandal preman?”
Ia ingin sandalnya juga dijaga.
Pada akhirnya, si preman itu menyuruh anak buahnya untuk menjaga sandalnya juga, sementara ia sendiri solat jum’at. Perasaan yang sama dirasakan oleh si preman selanjutnya. Dia ingin sandalnya juga dijaga. Akhirnya memanggil anak buahnya untuk menjaga sandalnya pada waktu solat Jum’at. Begitu seterusnya sampai semua preman di sekitar kampong Kiai As’ad ikut solat Jum’at. Alasannya hanya sepele: Ingin sandalnya dijaga orang lain.
Sumber: Dari Bilik Pesantren Karya Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Fatoni