Home > Serba Serbi

Kisah Sandal Bertuliskan "Abah" Milik Kiai Ma'ruf Dighosob Santri

Kejadian itu terjadi ketika Kiai Ma'ruf membangunkan santrinya untuk shalat subuh
Keterangan: Ilustrasi sandal di pesantren
Keterangan: Ilustrasi sandal di pesantren

Sumber Foto: NU Online

NYANTRI--Ghasab merupakan tradisi buruk pesantren yang telah dibuat lumrah. Walaupun dengan penuh usaha, pesantren sudah mencoba menekan tradisi tersebut agar tidak berkembang, sebab merugikan orang lain, bahkan mengambil hak orang lain tanpa seizin yang bersangkutan. Ghasab adalah meminjam barang orang lain tanpa seizing orangnya. Karena mengakarnya tradisi ini, para santri menganggap itu hal lumrah, karena pada dasarnya sandal tersebut akan kembali lagi. Namun ada beberapa santri tidak hanya meminjam, memang berniat mencuri.

Pada suatu ketika, terdapat santri yang Ghasab sandal kiainya di Pesantren Walisongo, Sragen, Jawa Tengah. Hal ini terjadi karena pengasuh pesantren tersebut, KH. Ma’ruf Islamuddin kerap membangunkan santrinya ketika subuh telah datang. Tidak hanya membangunkan dari komplek pesantren, akan tetapi sampai masuk ke kamar-kamar santri.

Meski santri setiap harinya belajar tentang keagamaan, bukan berarti mereka menjadi rajin beribadah, beberapa santri ada yang masih tidur ketika menjelang subuh sehingga perlu pengurus untuk membangunkan santri tersebut.

Seperti diceritakan oleh Gus Tawa, putra dari Kiai Ma’ruf bahwa subuh itu Kiai sedang melihat seorang santri tidur di teras kamar.

“Kang. Kang. Subuhan, Kang.” Kata Kiai Ma’ruf membangunkan santrinya.

Karena tidurnya terlalu pulas, maka si santri tidak bangun dari tidurnya.

“Kang. Bangun, Kang.” Suara Kiai Ma’ruf semakin keras.

Santri tersebut akhirnya bangun dengan perasaan terkejut ketika tahu, yang membangunkan tidurnya adalah seorang pengasuh pesantrennya. Ia mengucek mata-matanya yang masih layu.

“Injih, Kiai.” Sahut santri itu dan kemudian ngacir ke kamar mandi.

Sementara Kiai Ma’ruf meneruskan berjalan membangunkan santri-santri yang di setiap kamarnya. Memastikan santrinya itu bangun.

Selepas membangunkan santri, ia hendak kembali dan bersiap untuk menuju ke masjid. Akan tetapi ada yang aneh. Sandal yang ia pakai ternyata hilang. Sangat banyak santri yang keluar dan menuju ke kamar mandi. Entah siapa yang berani membawa sandal pengasuh.

Sepertinya percuma mencari sandal dan mengecek satu persatu santri yang membawa sandalnya, Kiai langsung saja pergi ke masjid tanpa memakai alas kaki, ia membasuh di tempat wudhu’ untuk naik ke atas santri. Ada satu santri yang melihat Kiainya tidak memakai alas kaki. Ia berkata, “Berani bener santri yang membawa sandalnya Pak Kiai.”

Namun, Kiai Ma’ruf Nampak santai saja. Ia menganggap santrinya adalah anak-anaknya sendiri, sehingga ghasab itu hal biasa dan mungkin bisa diingatkan secara lembut bahwa perbuatan itu tidak baik. Santri tersebut mungkin tidak sengaja. Husnudzon Kiai Ma’ruf bahwa mana ada santri yang berani mengambil atau meminjam sandal Kiainya. Bisa kualat dan pasti akan merasa malu jika ketahuan santrinya.

Ternyata santri yang membawa sandal Kiai Ma’ruf adalah Yusuf Wahyu. Santri yang tidur di teras dan orang yang pertama kali dibangunkan oleh Pak Kiai.

“Mungkin karena Yusuf belum begitu sadar, maka dia mengambil sandal yang ada. Eh, kebetulan sandalnya, Pak Kiai.” Cerita Gilang Ramadlan, teman Yusuf. “Baru sadar ketika sekembaliannya dari masjid. Lantas kami ketawa melihatnya.”

Bukannya marah mengetahui ini, Kiai Ma’ruf sama sekali tidak memperdulikan kejadian ini. Hal itu murni karena khilaf seorang santri pada waktu itu. Maka untuk menanggulangi terjadinya peristiwa serupa, sandal Kiai Ma’ruf akhirnya ditulisi dengan kata “Abah” dengan harapan agar santri tahu jika sandal tersebut milik pengasuh agar tidak lagi di-ghasab oleh santri.

Awalnya ide ini sangat efektif. Sandal Kiai Ma’ruf tidak lagi di-ghasab oleh santri. Namun, pada suatu ketika, Sandal yang bertuliskan “Abah” itu hilang. Tentu perbuatan ini sangat kurang ngajar, karena sudah ada tanda pada sandal Kiai. Jika Yusuf meng-ghasab sandal karena tidak tahu itu wajar. Akan tetapi perbuatan santri kali ini begitu kelewatan.

Di kemudian hari, Kiai Ma’ruf mendapati seorang santri memakai sandal yang betuliskan “Abah”.

“Kang. Sini, Kang.” Panggil Kiai Ma’ruf.

Santri yang dipanggil itu mendekat. Mata Pak Kiai memeperhatikan sandal yang dipakai oleh santri tersebut. “Coba lepas sandalnya.” Perintah Kiai Ma’ruf. Dia memperhatikan sandal itu, benar saja ada tulisan “Abah” di sana.

“Kenapa pakai sandalnya Abah?” Tanya Kiai Ma’ruf.

“Anu, Bah. Itu saya sandal saya sendiri.” Kata santri itu.

Kiai Ma’ruf heran. “Sandalmu gimana, itu ada tulisan ‘abah’ di situ. Sandal siapa lagi kalau bukan sandalnya Abah?”

Santri ini bingung menjawab karena takut kena hukuman, akhirnya ia memberanikan diri untuk mengungkapkan alasannya.

“Gini, Bah. Saya tulis kata ‘Abah’ di sandal biar enggak dighasab. Biar aman,” kata si santri.

Gilang, si santri Kiai Ma’ruf menceritakan ulang hal tersebut. “Waktu itu semua santri menulis sandalnya dengan nama ‘Abah’,” katanya.

Masalahnya, harapan itu sia-sia karena semua santri menulis sandalnya dengan nama “Abah”. Trik yang ujung-ujungnya membuat sandal Kiai Ma’ruf raib juga, karena disangka bahwa sandal Pak Kiai adalah milik seorang santri.

Sumber: Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi

Penulis: Ahmad Fatoni

× Image